Klaim Operasional Ramah Lingkungan
Terkait tuduhan pencemaran lingkungan, manajemen kembali menegaskan bahwa kegiatan perusahaan tidak menjadi penyebab bencana ekologi. Seluruh aktivitas dijalankan sesuai izin, peraturan, dan standar operasional prosedur (SOP), serta dipantau rutin bersama lembaga independen tersertifikasi.
Pada tahun 2018, Perseroan juga melakukan peremajaan pabrik dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Sementara audit menyeluruh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022–2023 menyatakan Perseroan berstatus “TAAT” dan tidak ditemukan pelanggaran lingkungan maupun sosial.
Perseroan pun membantah tuduhan deforestasi. Sistem operasional yang diterapkan menggunakan model tanam–panen berkelanjutan berdasarkan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang telah disahkan pemerintah. Bahkan, jeda antara pemanenan dan penanaman kembali hanya maksimal satu bulan, sesuai dokumen Amdal.
INRU juga menegaskan tidak ada gugatan hukum berulang dari masyarakat adat, serta menyatakan hubungan sosial dijaga melalui dialog berkelanjutan dan penguatan kemitraan dengan warga sekitar sebagai bagian dari strategi jangka panjang perusahaan.
Belum Berdampak ke Operasional dan Keuangan
Hingga kini, wacana rekomendasi penutupan disebut belum berdampak terhadap kegiatan usaha dan kinerja keuangan perusahaan. Produksi, pendapatan, hingga aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar wilayah operasional masih berjalan normal.
Sebelumnya, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyampaikan pemerintah daerah akan mengkaji kemungkinan penutupan atau pengurangan luas konsesi PT TPL, dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap sekitar 11 ribu tenaga kerja yang bergantung pada perusahaan tersebut.
“Kalau mengganggu, tentu kita sangat mendukung untuk ditutup. Tapi di sana ada 11 ribu tenaga kerja juga. Ini yang harus kita ambil kesimpulan bersama,” ujar Bobby.
Faktor Besar di Balik Banjir Sumatera
Di sisi lain, para ahli menyebut bahwa bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera bukan hanya disebabkan faktor tunggal. Curah hujan tinggi menjadi pemicu utama, diperparah oleh kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo, menjelaskan bahwa hutan berfungsi sebagai “spons alami” yang mampu menyerap air hujan. Pada hutan tropis alami, kemampuan tajuk menahan hujan mencapai 15–35%, sementara tanah yang tidak terganggu mampu menyerap hingga 55% air hujan. Limpasan ke sungai jadi hanya sekitar 10–20%.
Namun ketika hutan rusak atau gundul, fungsi tersebut hilang dan air langsung mengalir ke sungai, memicu banjir bandang dan longsor.
Data BPS Aceh mencatat wilayah tersebut kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan pada periode 1990–2020. Di Sumatera Utara, tutupan hutan tinggal 29% atau sekitar 2,1 juta hektare pada 2020. Sementara di Sumatera Barat, meski proporsi hutan mencapai 54%, laju deforestasi menjadi yang tertinggi.
Catatan Walhi Sumatera Barat menunjukkan kehilangan 320 ribu hektare hutan primer dan 740 ribu hektare tutupan pohon sepanjang 2001 hingga 2024, dengan deforestasi sebesar 32 ribu hektare hanya pada tahun 2024. Ironisnya, sisa hutan banyak berada di lereng curam Bukit Barisan, yang sangat rentan longsor dan banjir bandang.
- Audit KLHK PT TPL
- Banjir dan longsor Sumatera
- Banjir Sumatera
- banjir sumatera utara
- BIANG KEROK BANJIR SUMATERA
- Bobby Nasution TPL
- Deforestasi di Sumatera Barat
- Deforestasi di Sumatera Utara
- Deforestasi Sumatera
- Headline
- Hutan gundul penyebab banjir
- INRU
- Kerusakan hutan Sumatera
- Konsesi hutan Toba Pulp Lestari
- Perusahaan HTI penyebab banjir
- PT Toba Pulp Lestari
- PT Toba Pulp Lestari buka suara
- PT Toba Pulp Lestari Tbk
- PT TPL
- Status TAAT KLHK
- Tanaman eucalyptus Sumatera
- Toba Pulp Lestari dituding penyebab banjir