Finnews.id – Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali memanas secara meluas, memaksa puluhan ribu warga sipil melarikan diri dari area pertempuran. Bentrokan yang kembali terjadi pada Selasa 10 Desember 2025 ini merupakan eskalasi dramatis menyusul baku tembak yang melukai dua tentara Thailand pada Minggu lalu.
Pemimpin Senat Kamboja, Hun Sen, bersumpah negaranya akan melakukan perlawanan sengit terhadap Thailand. Sementara itu, Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, menegaskan bahwa operasi militer akan terus berlanjut.
Ancaman Balasan dan Pembelaan Kedaulatan
Ketegangan yang kembali meningkat ini menggagalkan gencatan senjata yang sebelumnya didorong oleh Presiden AS Donald Trump pada Juli lalu. Gencatan senjata sebelumnya menyudahi lima hari pertempuran yang menewaskan puluhan orang dan memaksa lebih dari 100.000 warga sipil dievakuasi.
Dalam pernyataan yang dibagikan melalui Facebook dan Telegram, Hun Sen mengklaim bahwa Kamboja awalnya menahan diri dari pembalasan pada Senin. Namun, Kamboja terpaksa membalas tembakan pada malam hari.
“Kamboja menginginkan perdamaian, tetapi Kamboja dipaksa untuk melawan demi mempertahankan wilayahnya,” tulis Hun Sen.
Meskipun Hun Sen telah digantikan oleh putranya, Hun Manet, pada tahun 2023, ia masih dipandang sebagai pemimpin de facto negara tersebut.
Di sisi lain, Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menegaskan bahwa Kamboja belum menghubungi pihak Thailand untuk kemungkinan negosiasi. Ia menegaskan sikap keras negaranya.
“Kami harus melakukan apa yang harus kami lakukan,” ujar Anutin, seraya menambahkan bahwa pemerintah akan mendukung semua jenis operasi militer yang sudah direncanakan untuk menjaga kedaulatan negara dan memastikan keamanan publik.
Serangan Roket dan Jumlah Korban Bertambah
Militer Thailand melaporkan, pada Selasa, pasukan Kamboja menyerang posisi Thailand dengan artileri, roket, dan serangan drone. Kedua pihak saling menyalahkan terkait siapa yang memulai penembakan pada hari Minggu dan Senin.