Home Lifestyle Membenci Tradisi Bagi-bagi THR: Kerja Mati-matian tapi Rela Gaji Ludes buat THR, Malah Dihujat Saudara Tak Tahu Diri
Lifestyle

Membenci Tradisi Bagi-bagi THR: Kerja Mati-matian tapi Rela Gaji Ludes buat THR, Malah Dihujat Saudara Tak Tahu Diri

Bagikan
Cara Cerdas Kelola Uang THR Agar Tidak Hanya Sekadar Lewat
Kelola uang THR dengan bijak! Simak tips mengatur THR agar tidak cepat habis dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penting serta investasi masa depan
Bagikan

finnews.id – Setiap menjelang Lebaran, jutaan pekerja di Indonesia bersiap menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Namun, bagi sebagian orang, THR bukan hanya soal menerima, tapi juga memberi. Tradisi bagi-bagi THR kepada keluarga besar, keponakan, hingga tetangga, sering kali menjadi beban tersendiri. Alih-alih menjadi momen berbagi kebahagiaan, tradisi ini justru menimbulkan tekanan sosial, beban finansial, dan bahkan konflik keluarga. Artikel ini mengupas sisi gelap dari tradisi bagi-bagi THR yang jarang di bicarakan secara terbuka.

THR: Antara Kewajiban Sosial dan Beban Finansial

THR seharusnya menjadi bentuk apresiasi dari perusahaan kepada karyawan atas kerja keras mereka selama setahun. Namun, dalam praktiknya, banyak pekerja justru merasa tidak pernah benar-benar menikmati THR tersebut. Menurut survei Katadata Insight Center tahun 2023, 68% responden mengaku bahwa THR mereka habis dalam waktu kurang dari seminggu, sebagian besar untuk kebutuhan keluarga dan tradisi berbagi.

Bagi sebagian orang, terutama yang menjadi tulang punggung keluarga, THR bukan lagi bonus, melainkan kewajiban sosial. Mereka merasa harus membagikan uang kepada orang tua, adik, keponakan, bahkan tetangga. Jika tidak, mereka di anggap pelit atau tidak tahu diri. Padahal, tidak semua orang memiliki kondisi finansial yang stabil. Banyak yang harus mengorbankan tabungan atau bahkan berutang demi memenuhi ekspektasi ini.

Fenomena ini menciptakan tekanan psikologis yang tidak kecil. Seorang karyawan swasta di Jakarta, Rina (29), mengaku harus meminjam uang dari aplikasi pinjaman online agar bisa membagikan THR kepada keluarganya. “Kalau nggak ngasih, nanti di bilang sombong. Padahal saya juga butuh uang itu buat bayar kontrakan,” ujarnya. Kasus seperti Rina bukanlah hal yang langka, terutama di kalangan pekerja muda.

Ironisnya, tradisi ini terus di langgengkan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing individu. Tidak ada ruang untuk berkata tidak. THR yang seharusnya menjadi momen bahagia, justru berubah menjadi sumber stres dan kecemasan. Ini menunjukkan bahwa tradisi, jika tidak di sesuaikan dengan realitas, bisa menjadi beban yang merugikan.

Tekanan Budaya: Ketika Memberi Jadi Ukuran Kebaikan

Dalam budaya Indonesia, memberi sering kali di kaitkan dengan kebaikan hati dan status sosial. Semakin banyak yang di berikan, semakin tinggi pula penghargaan sosial yang di terima. Sayangnya, standar ini menciptakan tekanan yang tidak sehat. Memberi bukan lagi soal keikhlasan, melainkan kewajiban yang harus di penuhi demi menjaga citra.

Tekanan ini di perparah oleh ekspektasi keluarga besar. Seorang pegawai negeri di Surabaya, Dedi (35), mengaku setiap tahun harus menyiapkan amplop THR untuk lebih dari 20 orang. “Kalau tahun lalu ngasih Rp50 ribu, tahun ini harus naik. Kalau nggak, nanti di banding-bandingkan,” katanya. Tradisi ini membuat banyak orang merasa terjebak dalam perlombaan sosial yang melelahkan.

Media sosial juga turut memperkuat tekanan ini. Unggahan tentang bagi-bagi THR, amplop warna-warni, dan ekspresi bahagia penerima, menciptakan standar baru yang tidak realistis. Mereka yang tidak mampu memberi dalam jumlah besar merasa malu atau bahkan minder. Padahal, nilai kebaikan seseorang tidak seharusnya di ukur dari seberapa banyak uang yang bisa ia bagikan.

Budaya memberi memang indah, tetapi ketika menjadi alat ukur kebaikan dan status, ia kehilangan makna sejatinya. Memberi seharusnya lahir dari empati, bukan dari tekanan. Jika tidak, tradisi ini hanya akan melahirkan generasi yang merasa terpaksa, bukan tulus.

Gaji Habis, Apresiasi Tak Di dapat

Salah satu ironi terbesar dari tradisi bagi-bagi THR adalah hilangnya apresiasi terhadap si pemberi. Banyak orang yang sudah mengorbankan sebagian besar gajinya untuk membahagiakan keluarga, namun justru mendapat kritik atau di anggap kurang. Tidak jarang, pemberian yang di anggap “kurang besar” menjadi bahan gunjingan di belakang.

Menurut survei Populix tahun 2022, 42% responden merasa tidak di hargai setelah memberikan THR kepada keluarga. Mereka mengaku bahwa pemberian mereka di anggap biasa saja atau bahkan tidak cukup. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap pemberi THR sering kali tidak realistis dan tidak di sertai rasa syukur.

Contoh nyata datang dari Lilis (32), seorang staf administrasi di Bandung. Ia mengaku memberikan THR sebesar Rp1 juta kepada orang tuanya dan Rp100 ribu untuk masing-masing keponakan. Namun, ia justru mendapat sindiran dari kakaknya yang merasa jumlah tersebut terlalu kecil. “Saya jadi merasa semua kerja keras saya tidak di hargai,” katanya.

Ketika pemberian tidak di sambut dengan apresiasi, motivasi untuk berbagi pun menurun. Ini bisa menciptakan siklus negatif di mana orang merasa enggan memberi karena takut di kritik. Padahal, apresiasi sederhana seperti ucapan terima kasih bisa membuat perbedaan besar. Tradisi berbagi seharusnya mempererat hubungan, bukan merusaknya.

Saat Keluarga Jadi Sumber Tuntutan, Bukan Dukungan

Keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung dan saling mendukung. Namun, dalam konteks THR, tidak jarang keluarga justru menjadi sumber tekanan dan tuntutan. Banyak orang merasa bahwa keluarga mereka hanya hadir saat meminta, bukan saat memberi dukungan emosional atau finansial.

Fenomena ini menciptakan luka emosional yang dalam. Seorang pekerja freelance di Yogyakarta, Andi (28), mengaku bahwa setiap Lebaran ia merasa seperti “ATM berjalan.” “Mereka tidak pernah tanya kabar saya selama setahun, tapi begitu Lebaran datang, semua minta THR,” ujarnya. Situasi ini membuat banyak orang merasa di manfaatkan, bukan di cintai.

Lebih parah lagi, ketika seseorang tidak mampu memberi, ia justru di jauhi atau di anggap tidak peduli. Padahal, kondisi finansial setiap orang berbeda. Tidak semua orang memiliki penghasilan tetap atau tabungan yang cukup. Namun, empati sering kali absen dalam relasi keluarga yang seharusnya penuh pengertian.

Jika di biarkan, pola ini bisa merusak hubungan kekeluargaan dalam jangka panjang. Rasa kecewa dan sakit hati bisa menumpuk, menciptakan jarak emosional yang sulit di jembatani. Oleh karena itu, penting bagi setiap keluarga untuk membangun komunikasi yang sehat dan saling memahami, bukan hanya menuntut.

Penutup: Saatnya Meninjau Ulang Tradisi

Tradisi bagi-bagi THR memang sudah mengakar dalam budaya kita. Namun, bukan berarti tradisi ini tidak bisa di evaluasi. Di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan sosial yang semakin tinggi, penting bagi kita untuk menyeimbangkan antara keinginan berbagi dan kemampuan finansial.

Memberi seharusnya menjadi tindakan sukarela yang lahir dari hati, bukan kewajiban yang menimbulkan stres. Keluarga dan masyarakat perlu belajar untuk lebih menghargai niat baik, bukan hanya jumlah uang yang di berikan. Apresiasi dan empati harus menjadi bagian dari tradisi, bukan hanya ekspektasi sepihak.

Pemerintah dan media juga bisa berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya literasi finansial dan kesehatan mental menjelang hari raya. Kampanye yang menekankan bahwa “berbagi sesuai kemampuan” adalah hal yang wajar dan sehat, bisa membantu mengurangi tekanan sosial yang tidak perlu.

Akhirnya, kita semua perlu menyadari bahwa kebahagiaan hari raya tidak di ukur dari seberapa tebal amplop THR yang di bagikan, tetapi dari seberapa tulus kita saling menghargai dan mendukung. Tradisi yang baik adalah tradisi yang membahagiakan semua pihak, bukan hanya penerima.

Bagikan
Artikel Terkait
Rumah Selalu Wangi
Lifestyle

6 Rahasia Bikin Rumah Selalu Wangi tanpa Pengharum Ruangan

finnews.id – Siapa bilang rumah wangi harus selalu bergantung pada produk pengharum...

Resep Kentang Balado
Lifestyle

Resep Kentang Balado Pedas Manis untuk Dicoba Akhir Pekan Ini

finnews.id – Kentang balado memang jadi salah satu favorit banyak orang, terutama...

Kentang Balado
Lifestyle

Resep Kentang Balado yang Cocok Dinikmati Kapan Saja

finnews.id – Kentang balado adalah salah satu masakan rumahan khas Indonesia yang...

Manfaat Jamu Temulawak
Lifestyle

7 Manfaat Jamu Temulawak untuk Kecantikan Kulit yang Alami

finnews.id – Dalam dunia kecantikan, bahan-bahan herbal tradisional Indonesia semakin dilirik karena...