finnews.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengambil langkah tegas dengan mencopot tiga jaksa di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, setelah ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketiga jaksa tersebut masing-masing menjabat sebagai Kepala Kejari (Kajari), Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel), dan Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Kejari Hulu Sungai Utara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa ketiganya telah dinonaktifkan dari jabatan sekaligus diberhentikan sementara sebagai aparatur sipil negara (ASN) hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
“Mereka sudah dicopot dari jabatannya dan dinonaktifkan sementara sebagai PNS Kejaksaan sampai ada putusan inkrah,” ujar Anang di Jakarta, Minggu (21/12).
Dengan status pemberhentian sementara tersebut, ketiga jaksa otomatis tidak lagi menerima gaji maupun tunjangan selama proses hukum berlangsung.
Terkait salah satu tersangka, yakni Kasi Datun Kejari HSU Tri Taruna Fariadi, yang hingga kini masih buron, Anang memastikan Kejagung akan membantu KPK dalam upaya pencarian.
“Kami pasti membantu KPK. Jika yang bersangkutan ditemukan, akan langsung diserahkan kepada penyidik KPK,” tegasnya.
Anang juga menegaskan bahwa Kejaksaan tidak akan melakukan intervensi terhadap proses hukum yang tengah berjalan dan menyerahkan sepenuhnya penanganan perkara kepada KPK.
Diketahui, KPK telah menetapkan Kajari HSU Albertinus Parlinggoman Napitupulu (APN), Kasi Intel Asis Budianto (ASB), dan Kasi Datun Tri Taruna Fariadi (TAR) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan dalam proses penegakan hukum di Kejari Hulu Sungai Utara untuk tahun anggaran 2025–2026.
Albertinus dan Asis saat ini telah ditahan oleh KPK, sementara Tri Taruna Fariadi masih dalam pencarian setelah diduga melarikan diri saat operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa Albertinus diduga menerima aliran dana hasil korupsi hingga Rp1,5 miliar.
Dana tersebut diduga berasal dari praktik pemerasan, pemotongan anggaran internal Kejari HSU, serta penerimaan ilegal lainnya. Khusus untuk pemerasan, Albertinus diduga menerima uang hingga Rp804 juta pada periode November–Desember 2025 melalui dua perantara, yakni Asis Budianto dan Tri Taruna Fariadi.
Selain itu, Albertinus juga diduga melakukan pemotongan anggaran Kejari Hulu Sungai Utara melalui bendahara, yang kemudian digunakan sebagai dana operasional pribadi.
Kasus ini kembali menegaskan komitmen penegak hukum dalam membersihkan institusi dari praktik korupsi, sekaligus menjadi peringatan keras bagi aparat agar tidak menyalahgunakan kewenangan