finnews.id – Mengakhiri sebuah babak profesional dan memutuskan untuk berpindah pekerjaan merupakan salah satu keputusan karier yang paling berat dan kompleks.
Proses ini tidak hanya melibatkan aspek emosional, tetapi juga memerlukan perhitungan strategis yang matang, mulai dari kesiapan mental hingga keamanan finansial.
Mengetahui secara pasti waktu tepat resign bukanlah tentang mengikuti perasaan sesaat, melainkan tentang menyelaraskan kondisi internal diri dengan peluang eksternal di pasar kerja.
Keputusan untuk keluar dari zona nyaman seringkali didorong oleh beberapa faktor, entah itu karena gaji yang stagnan, lingkungan kerja yang toksik, kurangnya peluang pengembangan diri, atau keinginan untuk mengejar passion yang telah lama tertunda.
Namun, tergesa-gesa mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dampak jangka pendek dan jangka panjang dapat berujung pada penyesalan dan kesulitan.
Artikel ini akan memandu kamu melalui sinyal-sinyal kritis dan analisis yang harus dilakukan untuk menemukan momen yang paling optimal dalam mengajukan pengunduran diri.
Analisis Kesehatan Finansial: Pilar Utama Menentukan Waktu Tepat Resign
Faktor pertama dan seringkali yang paling menentukan dalam memilih waktu tepat resign adalah kesiapan finansial.
Transisi antarkerja, bahkan yang direncanakan dengan baik, selalu diiringi oleh jeda waktu. Periode kekosongan antara gaji terakhir di tempat lama dan gaji pertama di tempat baru adalah periode kritis yang harus diamankan.
Secara umum, pakar perencanaan keuangan menyarankan bahwa seseorang harus memiliki dana darurat yang mencukupi untuk menutupi biaya hidup setidaknya selama tiga hingga enam bulan.
Dalam konteks resign, idealnya kamu memiliki cadangan dana yang dapat menopang kebutuhan selama masa pencarian dan adaptasi kerja baru, yang bisa memakan waktu dua hingga empat bulan.
Mengajukan pengunduran diri saat perusahaan sedang memasuki siklus pemberian bonus tahunan atau profit sharing juga menjadi pertimbangan penting.
Secara strategis, menunda resign hingga bonus tersebut cair dapat memaksimalkan keuntungan finansial kamu tanpa mengorbanki reputasi profesional.
Dalam ilmu psikologi ekonomi, fenomena ini berkaitan dengan konsep Loss Aversion, yang pertama kali diusulkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky.
Loss Aversion menjelaskan bahwa rasa sakit akibat kehilangan (misalnya, kehilangan bonus besar atau tunjangan) jauh lebih kuat daripada kepuasan yang didapat dari keuntungan (misalnya, memulai pekerjaan baru).
Oleh karena itu, secara naluriah, otak kita memprioritaskan untuk mengamankan aset finansial sebelum mengambil risiko besar, memperkuat bukti bahwa faktor keuangan harus dipertimbangkan secara rasional dan mendalam.