finnews.id – Polemik penanganan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara terus bergulir. Hingga kini, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution belum juga dipanggil dalam proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kondisi tersebut memicu perhatian Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Dewas KPK akhirnya turun tangan dengan memanggil pelaksana tugas deputi hingga jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk dimintai keterangan.
Pemanggilan ini terkait dugaan adanya sikap enggan atau penundaan dalam memanggil Bobby Nasution, yang namanya turut mencuat dalam pusaran perkara korupsi proyek jalan di Sumut.
“Masalah pemanggilan Gubernur Sumut,” ujar Ketua Dewas KPK, Gusrizal, saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Gusrizal menjelaskan, pemeriksaan terhadap pelaksana tugas deputi dilakukan pada Selasa, 2 Desember 2025. Sementara pemeriksaan terhadap JPU KPK telah rampung dilaksanakan pada Rabu sore (3/12/2025).
Kasus ini sendiri bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 26 Juni 2025. OTT tersebut menyasar dugaan korupsi dalam proyek pembangunan jalan yang berada di lingkup Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara serta Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
Dua hari setelah OTT, tepatnya pada 28 Juni 2025, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Gunung Tua yang juga merangkap pejabat pembuat komitmen Rasuli Efendi Siregar, PPK di Satker PJN Wilayah I Sumut Heliyanto, serta dua pihak swasta yakni Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group Muhammad Akhirun Piliang dan Direktur PT Rona Na Mora Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang.
KPK membagi perkara ini ke dalam dua klaster. Klaster pertama berkaitan dengan empat proyek pembangunan jalan di bawah Dinas PUPR Sumut, sedangkan klaster kedua mencakup dua proyek di Satker PJN Wilayah I Sumut. Total nilai enam proyek tersebut ditaksir mencapai Rp231,8 miliar.
Dalam konstruksi perkara, Akhirun dan Rayhan diduga berperan sebagai pihak pemberi suap. Sementara penerima suap pada klaster pertama adalah Topan Ginting dan Rasuli, sedangkan pada klaster kedua adalah Heliyanto.
Nama Bobby Nasution kembali mencuat setelah Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI/MAKI) melaporkan seorang pejabat internal KPK bernama Bekti pada 17 November 2025. Bekti diduga menghambat proses hukum dengan tidak menindaklanjuti atau memerintahkan pemanggilan Gubernur Sumut tersebut.
Sehari berselang, Dewas KPK menyatakan akan mendalami laporan tersebut dan membahasnya dalam rapat internal dengan waktu maksimal 15 hari kerja untuk menentukan tindak lanjut.
Pemanggilan pejabat internal KPK oleh Dewas ini menandai babak baru dalam penanganan kasus korupsi jalan di Sumatera Utara. Publik kini menanti langkah tegas dan transparan, termasuk kejelasan apakah Bobby Nasution benar-benar akan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh penyidik KPK.
Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan penegakan hukum, tetapi juga ujian besar bagi komitmen KPK dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu, terutama ketika menyentuh pejabat daerah dengan posisi strategis.