finnews.id – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan menjadi pembicara ketiga dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2025. Kehadiran ini menjadi salah satu momen penting bagi Indonesia dalam memperkuat posisi diplomasi di forum internasional.
Agenda Sidang Umum dan Posisi Indonesia
Menteri Luar Negeri Sugiono menjelaskan bahwa sebelum sesi debat umum dimulai, akan ada agenda khusus mengenai solusi dua negara atau Two State Solution pada 22 September. Setelah itu, Sidang Umum dibuka dengan rangkaian debat yang menempatkan Presiden Prabowo pada urutan ketiga setelah Brasil dan Amerika Serikat. “Beliau mendapatkan urutan berbicara ke-3 setelah Brasil dan Amerika Serikat,” ujar Sugiono, Minggu, 21 September 2025.
Selain menyampaikan pidato di forum utama, Presiden Prabowo juga dijadwalkan menghadiri sejumlah pertemuan bilateral dengan pemimpin negara lain selama berada di New York. Sugiono berharap agenda ini dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi bangsa. “Semoga perjalanan kali ini lancar, dan hasil-hasil yang didapat dari pertemuan di sana juga produktif untuk kemajuan bangsa,” tambahnya.
Melanjutkan Jejak Diplomasi Soemitro
Kehadiran Prabowo di forum PBB juga dipandang sebagai kelanjutan tradisi diplomasi keluarganya. Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menilai kiprah Presiden Prabowo di kancah global sejalan dengan perjuangan ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo. “Sebagaimana almarhum Prof. Soemitro, Presiden Prabowo diharapkan terus memperjuangkan multilateralisme di dunia,” kata Dino.
Pada akhir 1940-an, Prof. Soemitro memainkan peran penting dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Saat memimpin delegasi Indonesia di PBB pada 1948–1949, ia mengirim memorandum kepada Pejabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Robert A. Lovett yang kemudian dipublikasikan di The New York Times pada 21 Desember 1948. Memorandum itu mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman bagi ketertiban dunia dan pelanggaran terhadap Perjanjian Renville.
Diplomasi Indonesia dalam Sejarah
Kiprah diplomasi Soemitro tidak berhenti di PBB. Pada Januari 1949, ia menghadiri pertemuan di India yang menghasilkan solidaritas negara-negara Asia untuk menekan Belanda agar menghentikan agresi dan membebaskan para pemimpin Republik. Usaha ini akhirnya berkontribusi pada Konferensi Meja Bundar Desember 1949, yang membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Harapan pada Pidato Prabowo
Dino menekankan bahwa pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB akan membawa harapan baru di tengah merosotnya semangat multilateralisme global. “Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” jelas mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat itu.