Banyak perempuan memilih bertahan karena takut stigma sosial, ingin menjaga figur keluarga utuh, atau keterikatan ekonomi dengan pelaku.
Tekanan finansial pascapandemi menambah potensi konflik, sementara kekerasan verbal, kontrol ekonomi, pengabaian, hingga kekerasan seksual dalam pernikahan meninggalkan trauma jangka panjang.
Trauma ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga kepercayaan diri, kemampuan mengambil keputusan, dan masa depan korban.
Di era digital, ancaman semakin kompleks. Kekerasan berbasis gender online berkembang dari ancaman, pemerasan foto pribadi, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga modus rekrutmen fiktif.
Di Dompu, ratusan pelajar SMA diingatkan untuk waspada terhadap jebakan media sosial.
Ledakan penggunaan internet membuka akses informasi, tetapi juga memperluas ladang kekerasan digital yang sulit dilacak. Kasus pemerasan pelamar kerja melalui video rekrutmen menjadi salah satu contohnya.
Literasi digital yang rendah menjadi pemicu utama. Banyak pelaku belajar melakukan kekerasan dari media sosial, sementara korban, terutama remaja, belum sepenuhnya menyadari risiko.
Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram mencatat dua kasus kekerasan gender berbasis daring pada sembilan bulan pertama 2025, meski jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena banyak korban memilih diam. Perundungan digital termasuk yang paling sering dilaporkan di kalangan pelajar SMP dan SMA.
Penegakan hukum melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah memberi landasan, namun implementasi menghadapi kendala klasik, seperti minimnya tenaga ahli digital, fasilitas forensik siber terbatas, dan kerumitan pembuktian. Perlindungan holistik bagi perempuan, termasuk advokat HAM digital, masih tertinggal.
Menuju rumah aman
Menghapus kekerasan tidak cukup dengan memperkuat aturan hukum. Dibutuhkan ekosistem perlindungan yang bekerja lintas tingkat, mulai dari keluarga hingga kebijakan pemerintah pusat.
UPTD PPA harus diperluas hingga kecamatan dan desa, didukung kader, relawan, tokoh masyarakat, dan guru terlatih yang dapat mendeteksi tanda kekerasan sejak dini. Pendidikan publik dan konseling pranikah menjadi alat pencegahan sejak awal.