Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
PEJUANG DARI BAWAH, SAMPAI KE MAKKAH.. Begitu disebut umurnya 72 tahun, saya langsung berhenti sejenak — refleks. “Wah, seusia saya,” batin saya. Dan langsung terasa, ini bukan kisah biasa. Ini kisah pejuang dari bawah yang tidak pernah berhenti mendaki. Bayangkan, dari guru agama dan penjual jam tangan keliling, naik kelas menjadi penggerak koperasi terbaik se-Kementerian Agama. Lalu menjadi pelaku bisnis umrah terbesar di Mojokerto. Jalannya bukan jalan tol — penuh lubang, tanjakan, dan doa panjang. Tapi ia terus melangkah. Ketika anaknya terbaring sakit, ia yang sudah sepuh justru kembali bolak-balik Surabaya–Makkah. Umur boleh 72, tapi semangatnya seperti 27. Bapak ini membuktikan: “kerja keras itu ibadah, bukan pilihan.” Salut, Pak. Kita sama-sama pejuang dari bawah — tapi Bapak banyak langkah lebih panjang, lebih jauh. Bapak sekarang wira-wiri Mojokerto – Jakarta – Makkah. Saya hanya wira-wiri Jakarta – Surabaya..
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
“ONO REGO, ONO RUPO” — TAPI JANGAN DITAWAR DI ICU.. Kalau soal harga transplantasi hati, pepatah Jawa “ono rego, ono rupo” benar-benar terasa literal. Di Singapura, biayanya bisa bikin jantung ikut minta diganti. Tiongkok dan India jauh lebih “bersahabat” — dengan India biasanya sedikit lebih murah dari Tiongkok, sedangkan Indonesia kini sudah bisa, tapi belum semasif dua negara itu. Namun begini, ketika bicara soal nyawa, orang berhenti menawar. Tak ada yang bilang, “Dok, bisa kurang nggak, lima puluh juta aja?” — seperti kalau beli buah di pasar. Di rumah sakit, tawar-menawar berubah jadi doa, harapan, dan ucapan “yang penting sembuh.” Lucunya, justru setelah operasi miliaran, pasien bisa semangat video call dari ICU — seolah baru cangkok Wi-Fi, bukan ganti hati. Salut untuk semangat hidup seperti itu. Mungkin itulah pelajaran tersembunyi dari kisah ini, mahal boleh, asal hidup tetap bernilai. Karena di ujungnya, kesehatan itu satu-satunya “barang mewah” yang nggak bisa dibayar pakai uang receh dan logika dagang.