@pak Jo Neca.. Saya doakan keluarga si pasien ini makin harmonis. Sebagai pasangan, mereka memang memiliki 2 (dua) hati. Tetapi setelah operasi, hati mereka: 1). Suami 1-1/2 porsi. 2). Istri: 1/2 porsi. ### Makin sayang. Makin romantis. Makin agamis..
djokoLodang
-o– Botak berkah. + Kangmas!! Saluran air kamar mandi mampet lagi—pasti karena tersumbat gumpalan rambut. – Akhirnya! + Apanya yang akhirnya? – Kalau ibumu sedang berkunjung ke sini, setiap ada masalah, pasti aku yang disalahkan. Kali ini, tak ada yang bisa menyalahkan aku. –koJo.-
djokoLodang
-o– … Saya menengok yang sakit itu ke rumahnya. Saya lihat keadaannya: parah. Saya ragu: apakah akan menyarankan transplant. Keluarga ini sangat agamis. Belum tentu percaya hati manusia bisa diganti. … *) Apakah agamis justru mempersempit pandangan? –0-
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
KISAH TRANSPLANTASI YANG TAK TERPIKIRKAN.. Awal 2000-an, saya bertemu seorang pengusaha kecil asal Surabaya, rekanan Telkom. Ia bercerita dengan nada ringan, tapi kisahnya sesungguhnya cukup dalam. Ia pernah menjalani transplantasi — hanya saya lupa, ginjal atau hati — dan itu dilakukannya di Tiongkok. Yang menarik, ia tak sempat riset panjang. Katanya, “Yang penting tahu kira-kira biaya operasi, tiket Surabaya–Tiongkok, ongkos hidup, dan hotel untuk keluarga yang mengantar.” Setelah merasa cukup modal, berangkatlah ia. Operasi sukses, ia pun bisa pulang dan kembali beraktivitas seperti biasa. Namun saat keluar dari rumah sakit, dan di briefing oleh perawat tentang tindak lanjut plus maintenance pasca op, barulah ia tahu. Ternyata pasca op, harus minum obat seumur hidup. Dan obat itu, saat itu, hanya tersedia di Tiongkok — dengan harga yang tidak bersahabat bagi pengusaha kecil. ### Sesampai di Surabaya, ia kembali jungkir balik mencari cara untuk terus membeli obat. “Operasi itu ternyata bukan akhir perjuangan,” katanya. “Itu justru awal babak baru, menjaga hidup tetap berjalan.” Ternyata maintenance pasca op, gak kalah mahalnya dengan biaya operasi..