Sebelum kami berangkat ke Beijing saya terus berkomunikasi dengan pihak rumah sakit. Kami tiba Sabtu malam. Apakah di hari Minggu bisa langsung masuk rumah sakit.
Bisa.
Berarti hanya perlu satu malam transit di hotel. Kami pilih hotel yang paling dekat rumah sakit. Ada empat hotel. Besoknya tinggal jalan kaki ke RS. Dengan Mas Olik didorong di kursi roda.
Perkiraan saya: dalam dua minggu transplant sudah bisa dilakukan. Toh donornya sudah ada. Bukan orang lain. Istri sendiri. Pembayaran juga tidak ada masalah. Nisa dan suami ikut beberapa asuransi sekaligus –dengan limit yang melebihi cukup.
Ternyata tidak sesederhana itu. T sudah berubah banyak. Pun dalam prosedur transplant. Siapa yang akan memberikan separo hati kepada pasien haruslah jelas. Kalau dia adalah istri pasien, apa buktinya.
Saya sendiri telanjur percaya bahwa Nisa adalah istri Mas Olik. Padahal belum tentu orang yang tidak mengenal mereka bisa langsung percaya bahwa mereka suami istri.
Pihak rumah sakit bisa saja curiga. Penjual organ pun bisa pura-pura mengaku sebagai istri atau saudara kandung. Kini rumah sakit harus ekstra hati-hati.
Kalau pun pihak RS percaya –karena jaminan saya– belum tentu aparat pemerintah yang lebih tinggi percaya. Padahal sudah ada peraturan baru: setiap kali RS melakukan transplant harus minta izin pemerintah –semacam Konsil Kedokteran di Indonesia. Itu untuk menjaga kesuksesan transplant. Baik dari segi medis maupun nonmedis.
Perubahan itu yang saya tidak tahu. Hubungan kami dengan tim dokter di sana sudah seperti saudara –sehingga melupakan tetek-bengek seperti itu. “Pokoknya datang saja, kita bantu”.
Intinya saya harus membuktikan bahwa Nisa adalah istri Mas Olik. Kalau mereka belum yakin hubungan suami-istri itu benar transplant belum bisa dilakukan.
Apakah saya harus mendatangkan saksi ribuan orang yang menghadiri perkawinan mereka?
Tidak.
Cukup surat nikah?
Tidak juga.
Toh orang T tidak mengerti apa isi surat nikah bikinan Indonesia itu. Dan lagi Nisa-Olik sudah lama jadi suami istri. Mereka merasa tidak perlu ke mana-mana membawa surat nikah. (Dahlan Iskan)