Oleh: Dahlan Iskan
SEBAGAI orang yang pernah ke Samarkand saya harus nonton teater Imam Al-Bukhari dan Sukarno ini. Sudah dipentaskan lima kali. Tiga kali di Uzbekistan, sekali di Jakarta, dan kemarin malam di Surabaya. Pementasan itu diadakan untuk menandai ”Bulan Bung Karno”. Proklamator Indonesia itu lahir di bulan Juni. Maka di Surabaya sebulan penuh ada acara mengenang presiden pertama Indonesia itu. Bung Karno, menurut buku sejarah, lahir di Surabaya.
Sebenarnya Bung Karno bukan lahir di kota Surabaya. Saat itu wilayah Surabaya mencakup Mojokerto sampai Jombang. Di Jombanglah Bung Karno lahir.
Saya sudah siap mental untuk tidak membandingkan teater ini dengan Gandriknya Butet Kartaredjasa maupun teaternya Nano Riantiarno.
Imam Al-Bukhari dan Sukarno pastilah teater dengan muatan pamflet. Apalagi penyelenggara pertunjukan ini resmi: DPP-PDI Perjuangan.
Tiga tokoh wanita partai itu hadir: Puti Guntur Soekarnoputri, Mantan Mensos dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, serta Wiryanti Sukamdani, ketua departemen pariwisata partai. Wiryanti memberi sambutan di akhir acara.
Panggung dibuka dengan latar belakang galaxy jagad raya. Saya paham mengapa dipilih latar belakang seperti itu: di masa lalu Samarkand dipimpin seorang amirul mukminin yang sekaligus ahli astronomi terkemuka dunia dan ahli matematika: Ulugh Begh. Ulugh Begh sendiri artinya ”Amirul Akbar”. Pemimpin besar.
Adegan teater ini dimulai dengan tiga ulama Bukhara yang tafakur di keheningan malam gulita. Tiga ulama itu dimainkan oleh aktor asli dari Uzbekistan –seluruhnya ada tujuh orang.
Adegan kedua: sidang kabinet Indonesia di tahun 1956. Presiden Sukarno membahas undangan pemimpin tertinggi Uni Soviet Nikita Khrushchev. Presiden Sukarno menolak undangan itu: masih harus fokus di persoalan dalam negeri. Undangan kedua juga ditolak. Baru di undangan ketiga Bung Karno bersedia dengan syarat: Uni Soviet harus mencari sampai ketemu, di mana makam Iman Al-Bukhari.
Pemerintahan komunis Uni Soviet akhirnya menemukan makam itu: di Bukhara. Dekat kota Samarkand. Di Uzbekistan. Saat itu Uzbekistan masuk wilayah Uni Soviet.
Rupanya Bung Karno terpengaruh oleh buku-buku agama yang dikirim ulama terkenal: A. Hasan. Bung Karno sendiri saat itu sedang dibuang Belanda di Ende, NTT. Ia banyak waktu untuk membaca. Saat ke rumah pembuangan itu lebih 10 tahun lalu saya bisa membayangkan di mana Bung Karno membaca buku-buku kiriman dari sahabatnya.
Bung Karno juga saling bersurat tentang pemikiran keagamaan dengan A. Hasan.
Hasan adalah tokoh Persis –Persatuan Islam. Kini pusatnya di Bandung. Basisnya di Tasikmalaya (Jabar) dan Bangil (Jatim). Prinsip alirannya tegas: hanya berpedoman hukum Alquran dan hadis –ucapan serta tindakan Nabi Muhammad. Ajaran agama selebihnya dianggap bid’ah –mengada-ada.
Dalam hal itu Bung Karno rupanya seide dengan Hasan: terlalu banyak hadis lemah –tidak jelas apakah ajaran itu benar-benar pernah dilakukan dan diucapkan Nabi Muhammad atau tidak. Akibatnya, kata Bung Karno, banyak rakyat percaya takhayul –dikira sesuai dengan ajaran Islam. Dari situ terjawablah mengapa umat Islam sulit maju
Hadis yang pasti bisa dipegang kebenarannya adalah yang dihimpun oleh Imam Al-Bukhari. Juga yang dihimpun Imam Muslim. Dan beberapa lagi.
Imam Al-Bukhari sendiri bukan orang Arab. Sang Imam hidup sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat. Imam Bukhari orang Asia Tengah. Ia tekun menelusuri sumber ajaran agama yang dipegang umat Islam saat itu. Ia pun melakukan pemilahan. Mana ajaran yang benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad dan mana yang bukan. Lalu ia menyisihkan dan membuang ribuan ”ucapan Nabi” yang beredar di masyarakat –karena setelah ia telusuri ternyata sangat diragukannya.
Begitu terkesannya dengan Imam Bukhari sampai-sampai Bung Karno bermimpi. Dalam mimpinya itu Bung Karno bertemu Nabi Muhammad. Dalam mimpi itu Nabi bertanya: kamu akan ke mana? “Akan menemui Imam Bukhari,” jawab Bung Karno. “Sampaikan salam saya kepada Imam Bukhari,” ujar Nabi dalam mimpi itu.
Dalam teater, narasi itu ditulis dalam teks yang terpampang di layar di sebelah panggung. Teks itu tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Uzbekistan.
Rupanya sejak mimpi itu Bung Karno ingin ziarah ke makam Imam Bukhari. Bung Karno berhasil mendikte negara adikuasa sebagai syarat mau menerima undangannya.
Nama Bung Karno memang mendunia di tahun itu. Setahun sebelumnya Bung Karno sukses menyelenggarakan KTT Asia Afrika di Bandung. Uni Soviet ingin menarik Bung Karno ke orbitnya agar tidak ditarik ke orbit adikuasa satunya: Amerika Serikat.
Maka setelah ke Moskow dan St Petersburg, Bung Karno ke Tashkent, ibu kota Uzbekistan. Dari teater ini saya baru tahu: perjalanan Bung Karno dari Tashkent ke Samarkand ternyata naik kereta.
Saya ke Samarkand naik pesawat. Ikut pesawat kepresidenan Soeharto. Tahun 1989. Di tahun 1956 belum ada pesawat dari Tashkent ke Samarkand.
Adegan Bung Karno dan rombongan naik kereta api cukup menarik. Di situ delegasi Indonesia kelihatan naik kereta ekonomi. Di zaman itu tidak ada kelas eksekutif. Pilihannya hanya dua: ekonomi atau kereta malam –ada tempat tidur susun. Yang terakhir itu hanya untuk jarak jauh.
Kereta api Tashkent-Samarkand ”hanya” enam jam. Zaman itu masih pakai lokomotif yang dijalankan dengan batu bara. Benar-benar masih kereta api. Lokomotif diesel memang sudah ada tapi baru mulai ada. Baru untuk jalur-jalur utama.
Dari adegan di makam Imam Bukhari saya juga baru tahu: Bung Karno berziarah di malam hari yang gelap. Anda pun belum tahu: Bung Karno memasuki makam itu dengan ”laku ndodok”. Yakni berjalan dalam posisi jongkok.
Jalan model begini biasa dilakukan di keraton Jawa. Juga saya lakukan di masa kecil –saat akan mendekati nenek atau orang yang dituakan. Di setiap Lebaran, anak-anak muda harus bisa melakukan ini di acara sungkeman halal bihalal. Yang tidak bisa akan jadi bahan tertawaan dan olok-olok. Wanita lebih sulit melakukannya karena pakai kain jarit kebaya.
Saya terkesan dengan cara Bung Karno dan para menterinya laku ndodok di makam itu. Termasuk menteri J. Laimena yang bukan Jawa dan bukan Islam. Sutradara Ahmad Fauzi dan produser Restu Imansari berhasil menciptakan adegan ”laku ndodok” dengan uniknya –lebih unik dari aslinya.
Yang juga baru bagi saya adalah ini: Bung Karno berzikir di makam itu lama sekali. Sampai ada adegan seorang menteri mendekati Bung Karno, menepuk bahunya, dan mengingatkan ”hari sudah pagi”. Berarti khusyuk sekali Bung Karno di makam itu. Sepanjang malam. Sampai tidak ingat waktu.
Peristiwa Bung Karno ke makam Imam Bukhari lantas menjadi seperti legenda. Di Indonesia. Juga di Uzbekistan. Sampai ada narasi ”Bung Karno”-lah yang menemukan makam Imam Bukhari –secara tidak langsung.
Zaman itu Islam ditumpas habis di Uni Soviet. Termasuk di Uzbekistan. Masjid-masjid dihancurkan. Apalagi madrasah. Makam Imam Bukhari sendiri menjadi seperti makam telantar.
Itu hanya sebagian benar. Banyak madrasah dan masjid peninggalan Ulugh Begh yang sebenarnya dihancurkan oleh Islam sendiri –yakni aliran Islam ekstrem yang tidak setuju dengan Islam liberal zaman Ulugh Begh.
Ini rupanya mirip dengan lahirnya gerakan Imam Al Ghazali sebagai reaksi atas kebablasannya Islam liberal di zaman keemasan Abbasyiah.
Sebagai teater, Imam Al-Bukhari dan Sukarno memang seperti pamflet, tapi tetap menarik. Apalagi hanya satu jam. Kalau pun membosankan toh tidak lama.
Memang tidak perlu dipersoalkan akurasi informasinya. Ini teater. Bukan sejarah. Misalnya pemain wanita dari Uzbekistan yang menarasikan sebagai saksi hidup peristiwa itu. Ia mengaku kini berusia 71 tahun. Pengakuan lain: saat itu ia berumur 10 tahun. Sudah mencatat peristiwa itu di buku hariannyi. Tentu tidak masuk akal.
Saya saja yang sekarang berusia 74 tahun saat itu baru berusia lima tahun.
Yang agak sulit dimengerti –tapi menarik bagi penonton– adalah dilatunkannya lagu Syubbanul Wathon. Panjang. Lengkap. Sampai ada penonton yang bertepuk tangan. Saya terkesan dengan adegan gerak yang menyertai Syubbanul Wathon. Rasanya semua Banser NU harus bisa menirukan gerakan itu.
Sebagai pamflet teater ini berhasil. Istri saya tidak tertidur –padahal saat menonton film di bioskop selalu pulas. (DAHLAN ISKAN)