Perjalanan Caroline Rose di Patagonia berubah menjadi momen paling emosional dalam hidupnya. Ia datang dari kota kecil di Amerika, bekerja tanpa henti demi satu mimpi: melihat langsung menara granit Torres del Paine dan danau toska yang selama bertahun-tahun hanya ia tatap melalui layar ponsel. Ketika akhirnya ia mencapai puncak setelah pendakian hampir empat jam, tubuhnya terasa lelah, tetapi hatinya melayang. “Tubuhku tersiksa, tetapi pikiranku mengambang saking bahagianya,” ungkapnya dalam tulisan.
————————————————————-
PATAGONIA Caroline Rose berasal dari sebuah kota kecil di Amerika. Teman-teman masa kecilnya mengenalnya sebagai perempuan keras kepala yang tidak pernah puas hanya dengan melihat dunia melalui layar.
Sejak remaja, ia bekerja hampir tanpa jeda. Ia mengambil banyak shift, mencari pekerjaan tambahan, menyusun strategi demi satu tujuan yang terus memenuhi pikirannya: bisa melihat dunia dengan matanya sendiri.
Setiap uang yang ia kumpulkan, setiap tenaga yang terkuras, semua itu mengarah ke satu hal. Dalam tulisan aslinya, ia pernah menyebut bahwa dulu ia hanyalah, “gadis yang kelelahan karena kerja terus menerus sambil mencari cara agar tetap bisa bepergian.”
Ia tidak pernah ingin hidup stagnan. Ia ingin merasakan udara dari tempat yang jauh, mendengar bahasa asing, menyentuh tanah yang belum pernah ia pijak sebelumnya. Dari sebuah kamar kecil di rumahnya, ia terus menatap peta dan menyusun mimpi.
Patagonia, Mimpi yang Terus Memanggil
Selama bertahun-tahun, ada satu gambar yang terus membayanginya. Gambar itu memperlihatkan tiga menara granit raksasa yang menjulang setajam pisau, dengan danau berwarna toska tepat di bawahnya. Torres del Paine, Patagonia.
Ketika orang lain melihat foto itu sekadar sebagai destinasi wisata, Caroline melihatnya sebagai panggilan. Ia menyimpannya di ponsel. Ia menatapnya setiap kali merasa lelah bekerja. Ia yakin suatu hari kakinya akan menjejak batu-batu itu.
Lalu, hari itu datang.
Dalam tulisannya ia berkata, “Kemarin akhirnya aku menyelesaikan pendakian di Patagonia, tempat yang sudah bertahun-tahun hanya kulihat lewat layar.”
Kalimat itu menggambarkan betapa panjang perjalanan emosionalnya. Ini bukan sekadar perjalanan fisik. Ini perjalanan dari mimpi ke kenyataan.