finnews.id – Kordinator Jaringan Rakyat Pantura (JRP), Sandi Martapraja menjadi sorotan publik usai dirinya muncul membela pemasangan pagar laut di Perairan Kabupaten Tangerang, dengan alasan mencegah abrasi dan hasil swadaya masyarakat.
Fakta mengejutkan terungkap bahwa Sandi yang mengatasnamakan mahasiswa Universitas Muhmmadiyah Tangerang (UMT), ternyata sudah tidak menjadi mahasiswa di kampusnya sejak tahun 2021.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) UMT, Agus Kristian, saat dikonfirmasi Disway.id pada Selasa, 21 Januari 2025.
“Menanggapi hal tersebut Kampus UMT membenarkan Saudara Shandy sudah tidak menjadi mahasiswa UMT sejak Tahun 2021,” ujarnya saat di konfirmasi, Selasa.
Agus mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan pengakuan sepihak dari saudara Sandy yang masih mengakui mahasiswa UMT. Padahal sudah tidak aktif.
“Langkah UMT akan meminta klarifikasi dari yang bersangkutan tentang pengakuanya sebagai mahasiswa UMT,” tuturnya.
Berdasarkan data yang tercatat di UMT, kata Agus, sang kordinator JRP itu merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) angkatan 2016.
“Seperti yang tercatat di data kami dia kuliah ilmu pemerintahan di FISIP UMT,” jelasnya.
Kini, pihak kampus sedang mencari tahu keberadaan sang pahlawan kesiangan itu. Guna mengungkapkan kepada publik bahwa dirinya bukan lagi seorang mahasiswa ternama dari Universitas yang berada didekat Tangcity Mall itu.
“Secepatnya (untuk klarifikasi), sambil mencari tahu keberadaanya,” tutup Agus.
Sebelumnya diberitakan, Kordinator JRP, Sandi Martapraja mengatakan, pagar laut misterius yang membentang sepanjang 30,16 kilometer itu dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya.
Menurut Sandi, pagar laut itu berfungsi untuk menahan potensi bencana seperti abrasi. Selain itu, pagar yang tebruat dari bambu difungiskan untuk menjadikan habitat kerang dan udang sehingga menambah kesejahteraan bagi masyarakat.
Kemudian, masih kata Sandi, pagar laut itu dapat mengurangi dampak gelombang besar dan melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai serta merusak insfrastruktur.
“Jadi kalau dibilang ini adalah pagar laut itu hoax, yang ada yaitu tanggul laut yang dibangun secara swadaya dan dampaknya berguna untuk menahan ombak laut, menghindari terjadinya abarasi,” ujar Sandi kepada awak media, Senin, 13 Januari 2025.
“Seiring berjalannya waktu ternyata tanggal laut ini juga memberi keuntungan bagi melayan karena ditumbuhi kerang hijau, lalu diberi waring untuk bidudaya,” sambungnya.
Kemudian ia menuturkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di pesisir Kabupaten Tangerang sangat memprihatinkan di era kemajuan teknologi yang sangat pesat sekarang ini.
Hal tersebut disampaikan dengan menilik fakta belum adanya kebijakan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah demi memajukan kesejahteraan masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan.
“Sampai saat ini belum ada kebijakan yang bisa dirasakan secara signifikan oleh para nelayan Mau itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Banten, Pemerintah Kabupaten Tangerang,” ungkapnya.
“Jadi belum ada tindakan yang serius, yang memiliki dampak terhadap masyarakat di pesisir Kabupaten Tangerang yang bekerja sebagai nelayan ini,” tambahnya.
Menurutnya dengan dipasangnya tanggul laut tersebut seharusnya dapat dijadikan pelajaran berarti bagi pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan yang berdampak langsung bagi warga sekitar.
Sebab tanggul laut yang dibangun menggunakan bahan bambu atau cerucuk bertinggi sekitar 6 meter itu terpampang meliputi enam kecamatan di Kabupaten Tangerang.
Mulai dar tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri dan tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, serta dua desa di Kecamatan Teluknaga.
“Harusnya pemerintah malu bukan malah panik tidak karuan seperti ini, karena warga dengan inisiatif membangun pertahanan hidup secara alami meski di tengah kondisi kesejahteraan hidup yang apa adanya,” tukasnya. (Candra/dsw)