“Sehingga di luar dampak angka pertumbuhan ekonomi, kerugian ekonomi keseluruhan dan kemanusiaannya sebenarnya jauh lebih besar yang tidak bisa ditangkap dari angka pertumbuhan ekonomi. Apalagi, kita berbicara nyawa manusia. Hal tersebut tidak bisa dikuantifikasikan secara rupiah,” tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menegaskan bencana besar di Sumatra memang mengganggu skenario pertumbuhan 5,7 persen. Namun, ia berpesan kualitas respons pemerintah terhadap bencana jauh lebih penting dari sekadar memaksakan angka target ekonomi.
“Pemerintah perlu berani mengakui perubahan kondisi ini dan menyesuaikan proyeksi serta strategi kebijakan. Penyesuaian itu bisa berupa percepatan realisasi belanja APBN yang berorientasi pada rekonstruksi, program padat karya, dan bantuan tunai terarah di wilayah terdampak,” ucapnya.
“Pemerintah juga perlu memberi ruang lebih longgar pada defisit anggaran guna mendukung pemulihan, selama tetap terkendali dan terkomunikasikan dengan baik kepada pasar,” sambung Syafruddin.
Di lain sisi, ia meminta penguatan koordinasi antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga likuiditas perbankan. Negara harus mendorong restrukturisasi kredit bagi korban bencana dan memastikan suku bunga kebijakan tidak menghambat pemulihan sektor riil.
Ia juga mendorong perbaikan dalam jangka panjang. Menurutnya, pemerintah harus menjadikan bencana besar kali ini sebagai titik balik perbaikan tata ruang, penertiban izin di daerah hulu yang kritis, dan rehabilitasi daerah aliran sungai.
Investasi infrastruktur ke depan wajib menggunakan standar ketahanan bencana dan perubahan iklim, bukan cuma perhitungan biaya awal. Tanpa koreksi struktural, menurut Syafruddin, membuat setiap rupiah yang dikeluarkan hari ini hanya akan mengulang pola kerusakan yang sama di masa depan.
Selain itu, Syafruddin menekankan para korban bencana tidak cukup hanya menerima bantuan logistik sesaat. Mereka butuh insentif dan stimulus khusus agar dapat segera bangkit dan kembali produktif.