Menurut Adhi, dinamika kebijakan konservasi saat ini tidak hanya menyesuaikan aspek ekologis, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. “Perkembangan ini harus dijawab dengan kebijakan yang memberi kepastian, tetapi tetap menjaga kelestarian,” katanya. Ia menyoroti terbitnya Peraturan LHK Nomor 18 Tahun 2024 yang membuka ruang pemanfaatan TSL secara lebih luas bagi masyarakat dan pelaku usaha. Regulasi itu mengatur penangkaran, pemeliharaan kesenangan, hingga perdagangan spesies tertentu yang diizinkan. “Regulasi baru ini memberi peluang masyarakat untuk terlibat dalam budidaya dan pemanfaatan TSL secara legal. Beberapa jenis bahkan dapat diurus izinnya tanpa proses panjang, meski tetap melalui pengawasan ketat,” ujar dia. Namun, kemudahan tersebut juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan izin jika tidak diimbangi pengawasan berlapis.
Karena itu, Adhi menekankan pentingnya peningkatan pengendalian, terutama karena cukup banyak pihak di NTT yang ingin mengembangkan budidaya maupun perdagangan TSL. “Karena akses lebih mudah, maka pengawasan juga harus semakin ketat. Kami berharap semua pihak melaporkan jika ada aktivitas yang membutuhkan pendampingan atau pengawasan,” kata dia.