Finnews.id – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, blak-blakan mengakui gejolak ekonomi global yang ekstrem telah membuat proyeksi nilai tukar rupiah untuk tahun 2025 meleset jauh dari perkiraan awal.
Melesetnya proyeksi ini bukan sekadar angka. Melainkan indikasi tingginya ketidakpastian yang dihadapi Indonesia.
Dalam dokumen Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2025, rata-rata nilai tukar rupiah diproyeksikan berada di level ideal US$ 1 setara Rp 15.285.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan mata uang Garuda tertekan hingga menyentuh angka psikologis Rp 17.000 per US$ 1
Efek Donald Trump Biang Keroknya
Perry Warjiyo secara spesifik menunjuk satu pemicu utama yang tak terduga: kebijakan perdagangan internasional oleh Presiden AS, Donald Trump.
Kebijakan mengenakan tarif resiprokal perdagangan yang sangat tinggi kepada mitra dagang utama AS pada 2 April 2025, seketika mengubah lanskap pasar keuangan global.
“Pada waktu itu saat proyeksi dibuat, kita pandang rerata nilai tukar tahun 2025 itu cukup realistis pada reratanya US$ 1 setara Rp15.285$,” kata Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, pada Rabu, 12 November 2025.
“Tapi kita juga tidak tahu 2 April ada kebijakan tarif yang sangat tinggi. Sehingga kemudian rupiah bahkan di offshore sudah Rp 17.000 per US$ 1,” jelasnya.
Tekanan ini mencapai puncaknya pada 7 April 2025, ketika kurs rupiah mencatatkan posisi terendah di level Rp 17.261/ US$ 1. Situasi ini memaksa BI mengambil tindakan ekstrem.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dari tekanan yang luar biasa, Bank Indonesia mengaku harus melakukan intervensi dalam jumlah yang besar.
Intervensi ini tidak hanya dilakukan di pasar domestic. Tetapi juga di pasar Non-Delivery Forward (offshore) untuk meredam spekulasi.
“Sehingga kami harus melakukan intervensi dalam jumlah yang besar. Terutama di offshore non-delivery forward maupun domestic,” terang Perry Warjiyo.
Konsekuensi dari intervensi skala besar ini adalah terkurasnya cadangan devisa negara. Posisi cadangan devisa Indonesia, yang pada Maret 2025 sempat mencapai US$ 157 miliar, merosot tajam hingga mencapai level US$ 149 miliar per akhir September 2025.