Mulai Mendaki: Tubuh Menolak, Pikiran Melayang
Ia memulai pendakian pada pagi yang dingin. Udara tajam menerpa kulit. Tanah yang ia injak berubah-ubah, antara jalur berpasir dan susunan batu yang tajam. Angin semakin kencang ketika ia naik lebih tinggi.
Caroline berjalan selama hampir empat jam tanpa istirahat panjang. Betisnya kaku. Punggungnya pegal. Napasnya berat. Ia masih terus memaksa langkah, walaupun tubuhnya meminta berhenti. Ia kemudian menulis,
“Tubuhku rasanya tersiksa, tetapi pikiranku melayang-mayang saking bahagianya.”
Ia mendaki karena rasa penasaran. Ia ingin melihat sendiri warna danau yang terlalu cantik untuk dipercaya. Ia ingin menyentuh airnya, merasakan dinginnya menara granit tepat di depan wajahnya, bukan lewat foto siapa pun.
Setiap langkah terasa seperti bukti bahwa ia berhasil keluar dari batas hidupnya dulu.
Momen Sampai di Danau Toska
Begitu ia mencapai titik akhir pendakian, angin semakin keras. Suaranya menggema di antara batu-batu besar. Caroline berdiri beberapa meter dari danau dan membeku. Bukan karena dingin, tetapi karena takjub.
Di hadapannya, tiga menara batu raksasa menusuk langit. Danau toska itu memantulkan cahaya seperti kaca alami. Batu-batu di sekitar danau terasa kasar, dingin, dan tajam. Air yang tertiup angin memercik di wajahnya.
Ia duduk di satu batu besar dan memandangi semuanya dalam diam.
Dalam tulisannya, ia bercerita, “Aku sempat terpaku sambil berkata dalam hati, ‘Aku benar-benar ada di sini.’”
Ia merasakan sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan. Semua perjuangan, uang tipis, jam kerja panjang, rasa lelah, semuanya terbayar lunas dalam satu pandangan.
Namun perasaan bahagia itu tidak bertahan lama.
Keindahan yang Bertabrakan dengan Tragedi
Pikiran yang Tidak Mau Tenang
Ketika banyak orang mengira bahwa momen seperti itu akan memenuhi hati dengan rasa syukur, Caroline justru merasakan sesuatu yang mengganjal. Semakin sering ia bepergian, semakin sulit baginya untuk benar-benar berada living the moment.
Ia menulis, “Semakin sering aku bepergian, semakin sulit aku benar-benar hidup dalam momen.”
Ia duduk di pinggir danau, tetapi pikirannya justru terlempar ke luar Patagonia. Ia memandang menara batu yang megah, namun hatinya tidak tenang.
Ada berita yang menembus ketenangan itu.