finnews.id – Kebijakan pertama yang dikeluarkan Perdana Menteri Jepang baru, Sanae Takaichi, adalah akan menindak tegas pekerja asing yang melanggar aturan.
Takaichi mengakui bahwa Jepang memang memerlukan tenaga kerja asing untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di dalam negeri. Namun, ia juga menyoroti adanya sejumlah pelanggaran aturan yang menimbulkan rasa ‘tidak nyaman’ di kalangan masyarakat Jepang.
Dalam pidato kebijakan perdana pada Jumat 24 Oktober 2025, Takaichi mengutarakan keprihatinannya terhadap beberapa aktivitas ilegal dan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh warga negara asing tertentu, yang telah menciptakan situasi yang dirasakan tidak nyaman dan tidak adil oleh masyarakat. Ia menegaskan bahwa pemerintah Jepang tidak mengidap xenofobia, namun akan mengambil tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran aturan yang dilakukan oleh para warga asing.
Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya sentimen anti-asing di Jepang. Hal ini ditandai dengan peningkatan suara partai sayap kanan, Sanseito, dalam pemilihan Majelis Tinggi parlemen Jepang pada Juli 2025.
Sanseito, dengan sikap nasionalismenya yang kuat dan mengusung konsep ‘Japanese First’, semakin mendapatkan perhatian publik. Konsep ini, yang mirip dengan ‘America First’ yang diusung oleh mantan Presiden AS Donald Trump, menekankan prioritas kepentingan nasional dan kerapkali dikaitkan dengan penentangan terhadap imigran dan warga asing.
Sanseito bahkan mengusulkan pembentukan badan baru untuk merumuskan kebijakan terkait warga asing, strategi yang dinilai efektif untuk menarik dukungan dari kalangan muda yang konservatif.
Selain itu, mitra koalisi junior Partai Demokratik Liberal, yaitu Partai Inovasi Jepang (JIP), juga menunjukkan sikap tegas terhadap isu imigrasi. Mereka mengajukan proposal kebijakan yang mendesak pemerintah untuk menetapkan batas persentase penduduk asing yang diizinkan tinggal di Jepang.
Perkembangan terbaru menunjukkan peningkatan jumlah penduduk asing di Jepang. Pada akhir Juni 2025, jumlah penduduk asing mencapai rekor tertinggi, yaitu 3,95 juta jiwa atau sekitar 2,96 persen dari total populasi, berdasarkan data Kementerian Kehakiman.
 
                                                                        
 
                             
                             
                                 
				                
				             
						             
						             
						             
						             
 
			         
 
			         
 
			         
                                                                                                             
				             
				            