“Kami menuntut KPI dan Komdigi mencabut izin siaran Trans7 sementara waktu. Ini bentuk tanggung jawab moral terhadap publik dan dunia pesantren. Tidak cukup hanya permintaan maaf, harus ada tindakan konkret,” ujar Makmun tegas.
Ia juga meminta agar Trans7 memberikan klarifikasi terbuka kepada publik, serta melakukan evaluasi internal terhadap tim produksi dan redaksi yang terlibat dalam tayangan kontroversial tersebut.
Pesantren, Benteng Moral dan Tradisi Bangsa
Makmun mengingatkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi pilar kebangsaan yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Di pesantrenlah, kata dia, nilai keikhlasan, kebangsaan, dan kemanusiaan diajarkan secara turun-temurun.
“Mereka yang menghina pesantren sama saja menghina sejarah bangsa sendiri. Dari pesantren lahir tokoh-tokoh besar yang ikut membangun negeri ini,” ucapnya.
Ia menegaskan, pesantren telah berkontribusi besar dalam menjaga persatuan nasional dan menanamkan nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat majemuk.
Media Diminta Tak Jadikan Pesantren Sebagai Bahan Lelucon
Makmun pun menegaskan agar media berhenti menjadikan pesantren sebagai bahan olok-olok demi konten viral. Ia menilai media massa semestinya menjadi penopang moral publik, bukan perusak persepsi masyarakat terhadap lembaga keagamaan.
“Pesantren bukan bahan komedi. Itu ruang suci tempat ilmu dan adab tumbuh bersama. Kalau media ingin berperan bagi peradaban, jangan justru jadi sumber kerusakan persepsi,” katanya menutup pernyataan.
Kontroversi ini menempatkan KPI dan Komdigi dalam sorotan tajam publik. Jika kedua lembaga itu gagal bersikap tegas, bukan hanya kredibilitas industri penyiaran yang terancam, tetapi juga marwah keagamaan yang menjadi bagian penting dari identitas Indonesia. (*)