Begitulah guru taichi. Selalu rendah hati. Saat bermain bersama itu mungkin saja ia berada di depan, Jack Ma di belakangnya.
Setelah taichi kami pun dibawa ke ruang lain. Kali ini tidak lagi belajar filsafat di balik taichi, tapi diajak latihan keuletan. Pakai peraga permainan.
Kepada kami dibagikan barang seperti bola. Sebesar pola baseball. Terbuat dari kayu. Mirip sekali dengan puzzle. Begitu memegangnya kami tergoda untuk membukanya. Kelihatannya gampang. Ternyata tidak bisa.
Permainan itu menggunakan prinsip arsitektur zaman kuno. Tidak ada paku dan lem. Tapi terikat kuat dan kokoh. Dipaksa dibuka pun tidak bisa membuka. Lalu ada yang menjatuhkannya ke lantai. Juga tidak ambyar. Nama arsitek penemu prinsipnya Luban Locks.
Ternyata, caranya, justru tidak boleh dipaksa. Cukup diayun sambil memutarnya. Ambyar sendiri. ”Soft power” lebih bisa menyelesaikan masalah dibanding lewat kekerasan.
Bola pun berantakan di atas meja. Terburai menjadi enam bagian. Tugas selanjutnya adalah: bagaimana menyatukannya lagi. Agar kembali berbentuk bola.
Asyik tapi menjengkelkan. Dalam setengah jam tidak ada yang berhasil menyatukannya kembali. “Jangan terlalu bernafsu dalam menyelesaikan masalah,” katanya. “Hati harus tenang,” tambahnya.
Awalnya semua orang terlihat ingin menjadi juara. Itu karena guru taichi memulai acara dengan janji siapa yang pertama bisa menyatukannya akan dapat hadiah dari Alibaba.
Setelah doktrin ”sabar” itu, lomba dibuka kembali. Dalam lima menit salah satu dari kami berhasil. Anak muda. Baru lulus Universitas Ciputra Surabaya. Namanyi: Celine.
Kunjungan ke Alibaba ini pun happy ending. Kami diizinkan membawa pulang bola permainan itu. Saya juga membawanya pulang. Masih dalam keadaan berantakan enam bagian. (Dahlan Iskan)