finnews.id – Hingga kini, masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masih menjadi isu serius di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat, tetapi juga memicu aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah wilayah. Lalu, apa yang menjadi pemicu utama ketidakpuasan tersebut?
Kesenjangan dan Rasa Tidak Adil
Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama adalah progres pembangunan yang terasa lambat, meski pemerintah telah menggelontorkan ratusan triliun rupiah. “Kesenjangan adalah bensin yang menguap, pemicu ledaknya adalah krisis kepercayaan pada rasa adil, isu privilese, layanan publik yang terasa tak setara, dan penanganan kerumunan yang memantik emosi,” jelas Hidayat ketika dihubungi Disway, Rabu 10 September 2025.
Data resmi menunjukkan bahwa kemiskinan pada Maret 2025 mencapai 8,47 persen, membaik dibandingkan tahun sebelumnya, sementara Gini Ratio tercatat 0,375. Namun ketimpangan di kota lebih tajam (Gini 0,395) dibanding desa (0,299). Walau kemiskinan absolut di kota lebih rendah, jurang kualitas layanan, kesempatan kerja, dan beban biaya hunian serta transportasi membuat persepsi ketidakadilan terus meningkat.
APBN dan Bansos Tersandera Program
Dalam upaya menjaga konsumsi dan ketahanan ekonomi, pemerintah memang menyalurkan belanja besar dan bantuan sosial (bansos) senilai ratusan triliun rupiah. Namun, menurut Hidayat, dampak bantuan tersebut sering tersandera oleh dua hal: lemahnya koneksi antara bantuan dengan pemberdayaan, serta fragmentasi program. “Banyak skema kecil yang mirip, menimbulkan tumpang tindih dan biaya administrasi tinggi,” katanya.
Hidayat menambahkan, “Penerima bansos mendapat transfer, tetapi tidak otomatis terhubung ke pekerjaan yang lebih baik, akses modal, atau peningkatan keterampilan.” Kondisi ini diperburuk oleh pasar kerja yang didominasi sektor informal berproduktivitas rendah, layanan publik dasar yang belum merata, dan biaya hidup perkotaan yang tinggi. Tata ruang dan perumahan yang mahal, tata kelola yang belum sepenuhnya dipercaya, serta struktur fiskal daerah yang belum menajamkan insentif kinerja turut memperkuat ketidakadilan urban.