FINNEWS.ID – Apakah harga Bitcoin benar-benar bisa mengguncang ekosistem DeFi hanya dengan koreksi tajam? Harga Bitcoin anjlok $6.000 dalam satu hari, dan dampaknya langsung terasa: lebih dari $1 miliar posisi derivatif dilikuidasi, membuka luka lama soal rapuhnya sistem pinjaman terdesentralisasi. Peristiwa ini menjadi pengingat betapa volatilitas Bitcoin masih menjadi faktor dominan dalam menentukan stabilitas pasar kripto.
Gelombang Likuidasi $1 Miliar Picu Guncangan Pasar
Penurunan harga Bitcoin ke kisaran $91.500 memicu salah satu gelombang likuidasi terbesar sepanjang 2025. Menurut laporan 99bitcoins dan Ainvest. lebih dari $1 miliar posisi derivatif tersapu bersamaan, memaksa banyak investor kehilangan modal akibat margin call otomatis. Situasi ini memperlihatkan bagaimana leverage berlebihan bisa menjadi bumerang saat pasar berbalik arah dengan cepat.
DeFi Lending Tertekan, Aave dan Compound Jadi Sorotan
Tidak hanya pasar derivatif yang terguncang, protokol DeFi juga ikut terkena dampak langsung. Data mencatat bahwa di Aave v2 terjadi likuidasi lebih dari $782.000 wBTC, sementara Aave v3 mengeksekusi lebih dari $23,7 juta wBTC. Bahkan di Compound v3, likuidasi mencapai lebih dari $18,5 juta wBTC. Angka-angka ini menegaskan betapa rapuhnya sistem lending DeFi ketika harga aset utama seperti Bitcoin jatuh mendadak.
Ketidakseimbangan Likuiditas Mengkhawatirkan
Masalah lain yang ikut muncul adalah ketidakseimbangan likuiditas. Suku bunga pinjaman ETH di Aave dilaporkan sempat melampaui hasil staking, menandakan adanya rate divergence yang signifikan antara on-chain dan off-chain. Kondisi ini mencerminkan bagaimana arus keluar-masuk modal bisa menekan ekosistem DeFi, memperbesar risiko sistemik di tengah volatilitas harga.
Apa Artinya bagi Investor?
Bagi investor ritel maupun institusional, peristiwa ini menjadi sinyal peringatan. Likuidasi massal membuktikan bahwa yield tinggi di DeFi bukan tanpa risiko. Fragmentasi ekosistem, smart contract yang kaku, dan leverage berlebihan bisa menciptakan efek domino yang memperburuk kondisi pasar. Oleh karena itu, manajemen risiko dan kesadaran akan potensi kerugian menjadi kunci untuk bertahan di tengah gejolak pasar.