Oleh: Dahlan Iskan
“Dulu memang belum pakai peluru. Waktu itu saya belum punya peluru. Sekarang saya sudah punya peluru. Saya siap gugat Jaksa Agung lagi. Soal RBS yang tidak segera dijadikan tersangka itu. Padahal ini korupsi Rp 300 triliun”.
Kali ini saya sengaja melanggar ajaran jurnalistik saya sendiri: jangan menampilkan direct quotation terlalu panjang. Seperti yang Anda baca di alinea pertama tulisan hari ini, penulisan seperti itu melanggar ajaran saya. Membaca alinea seperti itu rasanya seperti membaca kutbah.
Harusnya direct quotation yang terdiri dari enam kalimat seperti itu dipecah-pecah. Agar pembaca merasa seperti sedang bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.
Kadang seorang guru ingin juga melanggar pemikirannya sendiri. Bagi saya itulah pelanggaran pertama yang saya buat. Saya berjanji tidak akan terjadi lagi.
Siapa sih sumber berita yang kata-katanya saya kutip sampai enam kalimat berurutan itu?
Anda pasti sudah mengira: Boyamin Saiman.
Anda sudah tahu: ia koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jakarta. Kelahiran desa terpencil di Ponorogo. Alumnus Universitas Muhammadiyah Solo. Setelah jadi politikus Solo dari partai PPP ia fokus di dunia pengacara. Lalu pindah ke Jakarta. Mendirikan MAKI.
Boyamin memang pernah menggugat Jaksa Agung. Yakni saat Jaksa Agung tidak segera menetapkan RBS sebagai tersangka kasus korupsi di PT Timah. Gugatan praperadilannya saat itu tidak dikabulkan. Alasan pengadilan: belum ada bukti Jaksa Agung menghentikan perkara korupsi di PT Timah. Artinya, kasus itu belum tentu tidak dilanjutkan.
Tapi sampai sekarang pun, RBS masih belum jadi tersangka. Maka Boyamin segera mengajukan gugatan lagi. Praperadilan lagi. Kali ini ia sudah punya peluru.
“Saya sudah pegang bukti-bukti bahwa RBS adalah penerima manfaat terakhir di kasus Timah,” katanya tadi malam.
Di gugatan pertama, Boyamin ”kalah” dengan kenyataan bahwa RBS tidak terkait dengan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan PT Timah. Ia berhasil ”menyembunyikan” namanya dari perkara ini.
Tapi sekarang, katanya, ia sudah menemukan bukti: RBS adalah memegang saham mayoritas di PT X yang memiliki saham di PT Y, sebagai pemegang saham di PT Z.
Boyamin menyebutkan nama-nama lengkap PT X, Y, Z itu, namun ia minta agar dirahasiakan dulu.
Tentu Jaksa Agung akan menjawab gugatan itu dengan alasan yang sama: belum ada bukti Jaksa Agung menyisihkan perkara itu. Bahwa RBS belum jadi tersangka mungkin menunggu saatnya saja. Bisa jadi gugatan Boyamin kali ini justru menjadi peluru bagi Jaksa Agung.
“Pokoknya saya akan terus persoalkan kasus ini,” ujar Boyamin.
“Tidak bosan?”
“Tidak. Saya pernah gugat KPK sampai enam kali,” katanya. “Ini kan baru akan dua kali,” tambahnya.
“Gugat KPK soal apa?”
“Soal Bank Century. KPK tidak segera melanjutkan kasus Bank Century,” katanya.
Tiap setahun sekali Boyamin menggugat KPK. Ia mengajukan gugatan praperadilan. Tidak kunjung dikabulkan. Lalu tiap enam bulan sekali. “Baru di gugatan keenam saya menang,” katanya. “Lantas kasus Bank Century disidangkan di pengadilan,” katanya.
Boyamin sudah banyak makan asam dan garam di soal seperti itu. “Kalau seratus gugatan saja sudah lebih,” katanya. Semua menyangkut perkara korupsi yang tidak segera ditetapkan siapa tersangkanya.
Kali pertama ia menggugat kejaksaan adalah di Sukoharjo. Yakni ketika kejaksaan setempat menghentikan perkara pencurian sepeda motor. Itu tahun 2004.
Lalu ia menggugat kejaksaan Boyolali ketika kejaksaan setempat menghentikan kasus korupsi berjamaah di DPRD setempat. Tahun 2014. Gugatan dimenangkan Boyamin. Maka begitu banyak anggota DPRD Boyolali masuk penjara.
Kali ini lawan Boyamin bukan sembarang orang. Ada jenderal bintang empat (Purn) pula di belakangnya.
Boyamin sendiri pernah berbintang: yakni ketika jadi tokoh gerakan Mega-Bintang bersama Mudrick Sangidu di Solo. Purnawirawan bintang empat kini lawan purnawirawan Mega Bintang.(Dahlan Iskan)