Film Pengepungan Bukit Duri
Home Entertainment Film Pengepungan Bukit Duri: Distopia Sosial Joko Anwar yang Menelanjangi Luka Kolektif Bangsa
Entertainment

Film Pengepungan Bukit Duri: Distopia Sosial Joko Anwar yang Menelanjangi Luka Kolektif Bangsa

Bagikan
Bagikan

finnews.id – Film ke-11 karya Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri, resmi tayang di bioskop sejak 17 April 2025.

Berbeda dari karya-karya horor populernya seperti Pengabdi Setan atau Perempuan Tanah Jahanam, film ini tidak menyuguhkan kengerian dari dunia gaib—melainkan dari dunia nyata, yang keras, kejam, dan sarat luka sejarah.

Berlatar tahun 2027, Pengepungan di Bukit Duri membawa penonton ke dalam versi distopik Jakarta yang porak-poranda, penuh kekerasan, dan kehilangan arah moral.

Joko Anwar menggambarkan Indonesia masa depan yang kelam, bukan karena invasi alien atau kehancuran teknologi, melainkan karena sejarah kekerasan yang tidak pernah benar-benar diselesaikan.

Kisah Seorang Guru dan Pencarian Identitas

Tokoh utama film ini adalah Edwin (diperankan oleh Morgan Oey), seorang guru pengganti keturunan Tionghoa yang hidup dalam kehati-hatian akibat identitasnya yang rentan.

Dibalut latar masyarakat yang rasis dan penuh kebencian, Edwin menjalani misinya mencari keponakannya—satu-satunya keluarga yang tersisa—melalui pekerjaannya sebagai guru seni keliling.

Pencariannya membawanya ke SMA Duri, sekolah dengan reputasi kelam di Jakarta Timur. Sekolah ini bukan sekadar tempat murid-murid bermasalah, tapi simbol dari rusaknya sistem pendidikan dan masyarakat yang gagal membina generasi mudanya.

Namun, alih-alih menjadi pahlawan, Edwin justru terjebak dalam situasi yang semakin memperburuk keadaan.

Niat baiknya tak cukup untuk membendung curiga, prasangka, dan kebencian yang sudah mengakar.

Ia harus berhadapan langsung dengan geng brutal yang dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal), murid yang terang-terangan membenci dan menyerang etnis Tionghoa seperti dirinya.

Luka Kolektif dan Distopia yang Terlalu Dekat

Joko Anwar menyusun skenario film ini sejak 2007, namun ia baru merasa matang untuk mengeksekusinya hampir dua dekade kemudian.

Ia memilih tahun 2027 sebagai latar untuk memberi kesan dekat—secara waktu dan emosional—kepada penonton. Menurutnya, jika latarnya 2045 atau lebih jauh, penonton akan merasa terlalu asing.

Dalam film ini, Joko tidak menawarkan solusi atau tokoh pahlawan. Justru, setiap karakter digambarkan sebagai korban dari sistem yang bobrok: dari guru yang menyerah, hingga siswa yang mewarisi dendam dan kekerasan.

Bagikan
Artikel Terkait
IEU-CEPA: Uni Eropa dan Indonesia Sepakati Pembukaan Pasar Baru hingga Kemudahan Visa
Entertainment

IEU-CEPA: Uni Eropa dan Indonesia Sepakati Pembukaan Pasar Baru hingga Kemudahan Visa

finnews.id – Kesepakatan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa...

Entertainment

Spoiler One Piece 1150: Imu Menunjukkan Kekuatan Asli, Elbaph dalam Ancaman!

finnews.id – Spoiler manga One Piece chapter 1150 akhirnya beredar dan mengungkap...

Entertainment

Trailer Keluarga Super Irit: Ungkap Gaya Hidup Ekstrem dengan Rp 5.000 Sebulan

finnews.id – Falcon Pictures merilis film terbarunya yang akan tayang pada tahun...

Entertainment

Sinopsis Sayap-Sayap Patah 2: Olivia, Kisah Ayah dan Anak yang Penuh Rintangan

finnews.id – Berikut  akan mengulas sinopsis film Sayap-Sayap Patah 2: Olivia yang...