finnews.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan kasasi atas vonis lepas yang dijatuhkan majelis hakim terhadap tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit (CPO) periode 2021–2022. Kasus ini juga dikenal sebagai skandal ekspor bahan baku minyak goreng.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa permohonan kasasi telah diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) sejak 25 Maret 2025. Sementara itu, memori kasasi diajukan pada 9 April 2025.
“Sudah diajukan kasasinya. Memori kasasinya juga sudah kami serahkan,” ujar Harli kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 15 April 2025.
Kasus ini mencuat setelah majelis hakim menjatuhkan putusan ontslag atau vonis lepas terhadap tiga korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus suap dan gratifikasi ekspor CPO. Keputusan tersebut memicu sorotan tajam dari publik dan mendorong Kejagung untuk mengambil langkah hukum lanjutan.
Dalam pengembangan penyidikan, Kejagung memeriksa tujuh saksi yang diduga terlibat. Mereka adalah Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN Jakarta Selatan), dua pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto, panitera muda PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, serta tiga hakim: Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto.
Dari hasil pemeriksaan, terungkap adanya kesepakatan antara Ariyanto selaku pengacara korporasi dengan Wahyu Gunawan untuk mengurus hasil putusan kasus. Wahyu kemudian menyampaikan permintaan tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang ketika itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Yang mengejutkan, permintaan awal sejumlah Rp20 miliar kemudian dikalikan tiga oleh MAN, sehingga menjadi Rp60 miliar. Angka tersebut diduga sebagai “harga” untuk mengamankan vonis lepas bagi pihak korporasi.
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Pasal 12 huruf c, Pasal 12 B, dan Pasal 6 ayat (2) UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Langkah Kejagung mengajukan kasasi ini menjadi sinyal tegas bahwa hukum tidak boleh tunduk pada kekuatan uang. Kasus vonis lepas kasus CPO kini menjadi ujian serius bagi integritas peradilan Indonesia. (*)