finnews.id – Keputusan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif tinggi terhadap sejumlah negara Asia Tenggara menimbulkan gelombang kekhawatiran baru di kawasan. Kebijakan ini tidak hanya menciptakan guncangan pasar, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara-negara yang selama ini menjadi alternatif tujuan investasi asing akibat ketegangan dagang antara AS dan China.
Vietnam dan Thailand: Merugi Setelah Diuntungkan
Vietnam menjadi salah satu negara yang paling terpukul. Dikenai tarif sebesar 46%, negara ini langsung bergerak cepat. Pemerintah Vietnam menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak adil dan meminta Washington untuk membuka pintu dialog. Dengan ekspor ke AS yang mencapai hampir sepertiga dari PDB nasional, tarif ini bisa menjadi pukulan telak bagi model ekonomi Vietnam yang selama ini sangat bergantung pada ekspor.
Dampaknya langsung terasa. Indeks saham utama Vietnam jatuh 6,7% dalam sehari, sementara mata uang dong anjlok ke titik terendah sepanjang masa. Perdana Menteri Pham Minh Chinh pun segera menggelar rapat kabinet dan membentuk gugus tugas khusus untuk merespons situasi ini. Di saat bersamaan, nota diplomatik pun telah dikirimkan ke Pemerintah AS, dengan harapan bisa membuka ruang perundingan.
Thailand juga tidak luput dari tekanan. Dengan tarif 37%—jauh di atas perkiraan awal—pemerintah setempat menyatakan komitmennya untuk tetap membuka jalur diplomasi. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra menegaskan pentingnya pembicaraan dengan AS agar perekonomian domestik tetap terjaga. Menteri Perdagangan Thailand bahkan menyatakan bahwa hubungan baik negaranya dengan AS menjadi modal penting dalam proses negosiasi.
Indonesia: Bergerak Cepat Siapkan Negosiasi
Sementara itu, Indonesia yang turut terkena dampak kebijakan tarif baru Trump juga mengambil langkah antisipatif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa tarif resiprokal AS dapat memengaruhi daya saing sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia, seperti elektronik, tekstil, karet, furnitur, hingga produk perikanan.
Pemerintah Indonesia telah membentuk tim lintas kementerian yang bekerja sama dengan pelaku usaha dan perwakilan diplomatik di AS untuk mempersiapkan langkah negosiasi. Delegasi tingkat tinggi bahkan direncanakan akan dikirim ke Washington DC dalam waktu dekat guna membuka jalur komunikasi langsung dengan Pemerintah AS.
ASEAN Belum Siapkan Tarif Balasan
Meski tekanan terasa kuat, hingga saat ini belum ada satu pun negara Asia Tenggara yang mengisyaratkan akan menerapkan tarif balasan terhadap AS. Malaysia, misalnya, memilih pendekatan diplomatis dengan tetap berkomitmen pada prinsip perdagangan bebas dan adil. Negara ini menyatakan akan terus berdialog aktif dengan otoritas AS untuk mencari solusi terbaik.
Sementara itu, Kamboja menjadi negara dengan tarif tertinggi, yakni 49%, yang langsung mengancam industri garmen dan alas kakinya. Tanpa daya tawar besar, Kamboja tampaknya harus berhadapan dengan realitas ekonomi yang berat, dan berada di posisi paling lemah dalam rantai negosiasi.
Kawasan Hadapi Tantangan Baru
Tarif tertinggi Trump kali ini menjadi ujian besar bagi stabilitas ekonomi di Asia Tenggara. Negara-negara yang selama ini menikmati lonjakan investasi karena strategi China+1, kini dihadapkan pada ancaman baru yang bisa membalikkan arus keuntungan itu.
Dengan tekanan yang begitu besar, upaya diplomasi dan negosiasi menjadi satu-satunya jalan untuk meredam dampak dari kebijakan ini. Indonesia, Vietnam, Thailand, dan negara lainnya di kawasan kini dituntut bergerak cepat—bukan hanya untuk melindungi sektor ekspor, tapi juga menjaga kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi nasional.
Tarif tertinggi Trump bukan sekadar isu perdagangan, tapi bisa menjadi titik balik arah investasi global. Dan Asia Tenggara sedang berada di pusaran badai tersebut. (*)