finnews.id – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor sebesar 10% terhadap barang-barang asal China senilai $300 miliar.
Kebijakan ini menandai eskalasi baru dalam konflik ekonomi antara dua kekuatan global terbesar. Langkah ini tidak hanya memengaruhi hubungan bilateral kedua negara, tetapi juga membawa dampak luas bagi ekonomi global.
Artikel ini akan membahas latar belakang kebijakan tarif baru, dampaknya terhadap ekonomi AS dan China, reaksi global, serta prospek negosiasi di masa depan.
-
Latar Belakang Kebijakan Tarif Baru
Kebijakan tarif baru ini diumumkan oleh Donald Trump pada Agustus 2019, sebagai respons terhadap lambatnya kemajuan dalam negosiasi perdagangan dengan China. Trump menuduh China tidak memenuhi janji untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan gagal mengatasi isu-isu struktural seperti pencurian kekayaan intelektual dan subsidi industri. “Kami tidak bisa terus membiarkan China mengambil keuntungan dari Amerika Serikat,” ujar Trump dalam sebuah cuitan di Twitter.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk menekan China agar tunduk pada tuntutan AS. Sebelumnya, AS telah memberlakukan tarif 25% pada barang-barang China senilai $250 miliar. Namun, Donald Trump merasa bahwa tekanan tambahan diperlukan untuk memaksa Beijing membuat konsesi yang lebih besar. Tarif baru ini mencakup berbagai produk konsumen seperti pakaian, elektronik, dan mainan, yang sebelumnya relatif terlindungi dari kebijakan tarif.
Di sisi lain, China menolak tuduhan AS dan menyatakan bahwa kebijakan tarif ini adalah bentuk “pemerasan ekonomi.” Beijing juga menegaskan bahwa mereka akan mengambil langkah balasan yang setimpal. Konflik ini mencerminkan ketegangan yang lebih dalam terkait dominasi ekonomi global, di mana AS berusaha mempertahankan posisinya sementara China terus memperluas pengaruhnya.
Konteks historis juga penting untuk dipahami. Perang dagang ini berakar pada defisit perdagangan AS yang besar dengan China, yang mencapai $419 miliar pada 2018. Trump telah lama menjadikan isu ini sebagai salah satu pilar kampanye politiknya, dengan janji untuk “membuat Amerika hebat kembali” melalui kebijakan perdagangan yang lebih proteksionis.
-
Dampak Ekonomi Bagi Amerika Serikat dan China
Kenaikan tarif ini membawa dampak signifikan bagi perekonomian kedua negara. Di Amerika Serikat, konsumen menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Menurut laporan dari Bank of America, tarif baru ini diperkirakan akan meningkatkan harga barang-barang konsumen hingga 1,5%. Produk seperti ponsel, laptop, dan pakaian menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya membebani rumah tangga Amerika.
Sektor pertanian AS juga terpukul keras. China, sebagai pembeli utama produk pertanian AS seperti kedelai, telah mengurangi impor dari Amerika sebagai langkah balasan. Data dari Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa ekspor kedelai ke China turun hingga 75% pada 2019 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini memicu keresahan di kalangan petani, yang sebagian besar merupakan basis pendukung Donald Trump.
Di sisi lain, ekonomi China juga tidak luput dari dampak negatif. Pertumbuhan ekonomi China melambat ke level terendah dalam hampir tiga dekade, yaitu 6,2% pada kuartal kedua 2019. Industri manufaktur, yang menjadi tulang punggung ekonomi China, menghadapi tekanan besar akibat penurunan permintaan dari pasar AS. Namun, pemerintah China berusaha mengurangi dampak ini dengan mendorong konsumsi domestik dan diversifikasi pasar ekspor.
Meskipun kedua negara mengalami kerugian, dampaknya tidak simetris. Sebuah studi dari Federal Reserve menemukan bahwa perusahaan-perusahaan AS lebih banyak menanggung beban tarif dibandingkan perusahaan China. Hal ini menunjukkan bahwa strategi Trump mungkin tidak seefektif yang diharapkan dalam menekan Beijing.
-
Reaksi Global terhadap Eskalasi Perang Dagang
Eskalasi perang dagang ini memicu kekhawatiran di seluruh dunia. Banyak negara khawatir bahwa ketegangan antara AS dan China dapat memicu perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa perang dagang ini dapat memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5% pada 2020, setara dengan kerugian sekitar $455 miliar.
Pasar keuangan global juga merespons dengan volatilitas yang meningkat. Indeks saham utama seperti Dow Jones dan S&P 500 mengalami penurunan tajam setelah pengumuman tarif baru. Di Asia, pasar saham China dan Hong Kong juga terpukul, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak jangka panjang konflik ini.
Uni Eropa, sebagai salah satu mitra dagang utama AS dan China, menyatakan keprihatinannya terhadap eskalasi ini. Blok tersebut juga menghadapi dilema, karena harus menavigasi hubungan dengan kedua negara tanpa memihak salah satu pihak.
Negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada ekspor ke China, juga merasakan dampaknya. Misalnya, negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia menghadapi gangguan dalam rantai pasokan global. Namun, beberapa negara seperti India melihat peluang untuk menggantikan posisi China sebagai mitra dagang utama AS.
-
Prospek Negosiasi dan Masa Depan Hubungan AS-China
Meskipun ketegangan terus meningkat, prospek negosiasi antara AS dan China tetap terbuka. Kedua negara telah mengadakan beberapa putaran pembicaraan perdagangan, meskipun hasilnya sejauh ini belum memuaskan. Trump menyatakan bahwa ia masih terbuka untuk mencapai kesepakatan, tetapi hanya jika itu “baik untuk Amerika.”
China, di sisi lain, tampaknya mengambil pendekatan jangka panjang. Beijing mungkin berharap bahwa perubahan kepemimpinan di AS setelah pemilu 2020 dapat membawa pendekatan yang lebih moderat. Namun, dengan meningkatnya sentimen anti-China di kalangan politisi AS, tidak ada jaminan bahwa kebijakan perdagangan akan berubah secara signifikan.
Para ahli memperingatkan bahwa perang dagang ini dapat berkembang menjadi konflik yang lebih luas, mencakup isu-isu seperti teknologi dan geopolitik. Misalnya, larangan AS terhadap Huawei menunjukkan bahwa persaingan teknologi menjadi medan pertempuran baru dalam hubungan AS-China.
Masa depan hubungan AS-China akan sangat bergantung pada kemampuan kedua negara untuk menemukan titik temu. Namun, dengan meningkatnya nasionalisme ekonomi di kedua belah pihak, jalan menuju resolusi tampaknya masih panjang dan penuh tantangan. Dunia hanya bisa berharap bahwa kedua negara dapat menghindari eskalasi lebih lanjut yang dapat merugikan semua pihak.
Perang dagang antara AS dan China adalah salah satu tantangan terbesar bagi ekonomi global saat ini. Dengan dampak yang meluas dan ketidakpastian yang tinggi, penting bagi para pemimpin dunia untuk mendorong dialog dan kerja sama. Hanya dengan demikian, stabilitas ekonomi global dapat terjaga.