fin.co.id – Fenomena berbelanja di luar negeri saat ini tengah menjadi fenomena yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, penggunaan produk-produk keluaran luar negeri sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Namun menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kebiasaan ini sendiri bukanlah sekadar tren, melainkan sebuah pola konsumsi yang membawa dampak besar terhadap perekonomian nasional.
“Ketika masyarakat Indonesia, terutama kelompok ekonomi menengah ke atas, lebih memilih membelanjakan uangnya di luar negeri, aliran devisa yang seharusnya bisa mendukung perekonomian dalam negeri justru mengalir keluar,” jelas Achmad ketika dihubungi, Kamis 16 Januari 2025.
- Konflik Mo Salah dan Arne Slot Memanas
- Apakah Sesulit Itu Menjadi Orang Baik?
- California Catat 21 Kasus Keracunan Jamur Liar, Satu Orang Meninggal Dunia
- Kumpulkan Rp15 Miliar! Raffi-Nagita Salurkan Bantuan Dana Taktis untuk Korban Bencana 3 Provinsi Sumatera
- Malam Ini Jadi Race Penentu Gelar Juara Dunia F1 2025: Verstappen Pole Position
Menurut Achmad, salah satu alasan utama mengapa produk lokal kurang diminati adalah kualitas yang dianggap masih kalah dibandingkan dengan produk impor.
Konsumen Percaya Barang Buatan Luar Negeri
Dalam hal ini, banyak konsumen kaya Indonesia percaya bahwa barang-barang buatan luar negeri lebih tahan lama, lebih inovatif, dan memiliki desain yang lebih menarik.
“Kebiasaan berbelanja di luar negeri sering kali dipicu oleh beberapa faktor, seperti ketersediaan produk yang lebih lengkap, harga yang lebih kompetitif, dan persepsi bahwa barang impor memiliki kualitas yang lebih baik,” jelas Achmad.
Kendati begitu, Achmad juga menambahkan bahwa di balik kenyamanan dan pengalaman berbelanja ini, ada konsekuensi serius terhadap ekonomi Indonesia.
Dalam hal ini, setiap transaksi yang dilakukan di luar negeri berarti aliran uang yang keluar dari negeri ini. Fenomena ini disebut sebagai kebocoran devisa, yaitu kondisi ketika uang dari suatu negara lebih banyak mengalir keluar dibandingkan yang masuk.
“Kebocoran devisa dalam jumlah besar dapat menyebabkan defisit neraca pembayaran yang memperlemah stabilitas ekonomi,” tutur Achmad.