finnews.id – Great Barrier Reef sekarang berada pada garis tipis antara harapan dan kerusakan. Peningkatan suhu global menempatkan terumbu karang terbesar di planet ini dalam ancaman yang semakin nyata.
Banyak ilmuwan mengingatkan bahwa masa depan ekosistem ini berkaitan langsung dengan batas dua derajat Celcius. Jika pemanasan global tetap terkendali pada angka tersebut atau lebih rendah, terumbu masih memiliki kesempatan untuk bertahan.
Namun, jika suhu meningkat lebih cepat, konsekuensinya sangat berat: kerusakan terumbu massal, hilangnya keanekaragaman hayati, serta runtuhnya ekosistem yang menopang ekonomi dan kehidupan jutaan orang.
Saat lautan semakin hangat, keseimbangan alami berubah. Karang membutuhkan alga sebagai sumber energi untuk tumbuh dan berkembang. Ketika suhu naik terlalu tinggi, karang mengalami stres dan melepas alga itu.
Karang menjadi pucat, lemah, dan kehilangan kemampuan untuk pulih. Kondisi seperti ini bukan kejadian satu kali. Gelombang panas laut muncul semakin sering dan semakin panjang, sehingga waktu pemulihan menjadi jauh lebih singkat.
Batas Dua Derajat Sebagai Titik Penentu
Para peneliti dari University of Queensland menjalankan simulasi terhadap lebih dari 3.800 gugus karang. Mereka mempelajari interaksi antar spesies, arus laut, serta kemampuan karang beradaptasi terhadap perubahan suhu. Selain itu, mereka melakukan analisis bagaimana karang mampu berkembang pada kawasan dengan arus dingin yang bergerak terus.
Mekanisme Adaptasi yang Terbatas
Karang memiliki kemampuan adaptasi alami. Namun, kemampuan itu bergantung pada waktu. Jika satu kejadian panas datang, karang masih memiliki tenaga untuk pulih. Masalah muncul ketika kejadian panas datang terlalu sering. Karang kelelahan karena energi yang seharusnya untuk pertumbuhan justru terbagi untuk bertahan. Pada titik ini, karang kehilangan vitalitas.
Terlebih lagi, muncul masalah lanjutan. Ketika satu gugus karang melemah, regenerasi pada gugus lain ikut terganggu. Jarak antar populasi yang mampu menyalurkan bibit karang jauh, sehingga proses pemulihan menjadi lambat. Bahkan forum ilmiah menyebut kondisi ini sebagai efek domino, karena kerusakan pada satu area mampu memengaruhi area lain.