“Aaamiiiiin…,” terdengar kata itu dilantunkan serentak dengan keras. Mungkin mereka orang Indonesia. Kami memang biasa menyahut dengan kata ‘Aamiiiiiin’ usai imam salat membaca Al Fatihah.
“Pasti banyak orang Indonesia di dalam masjid ini,” kata saya dalam hati.
Orang Tiongkok tidak pernah melantunkan kata “Aamiiin” usai imam membaca Al Fatihah. Mungkin mereka mengucapkannya tapi dalam hati. Setidaknya sangat lirih.
Benar. Ada lebih 10 orang Indonesia ikut salat Jumat di masjid kota Qingdao, di Provinsi Shandong ini.
Mereka rombongan dari anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Mereka sedang training di Qingdao: training menjalankan KRL (Kereta Rel Listrik). Angkatan ke-2. Yang pertama sudah pulang. Yang ketiga segera datang.
Dulu saya juga begitu: mengalunkan kata “Aamiiiin” usai imam baca Fatihah. Dengan keras. Sendirian. Ternyata hanya saya yang berseru “aamiiin”. Rupanya hanya saya orang asing di masjid itu. Yakni waktu saya Jumatan di pedalaman Tiongkok.
Di rakaat berikutnya saya sudah menyesuaikan diri dengan jemaah di sini: mengucapkan “amiiin” dalam hati.
Masjid Qingdao penuh sesak Jumat kemarin. Sampai tidak muat. Sampai banyak yang salat di teras. Termasuk dua orang anak muda Indonesia yang bukan dari KAI.
Mereka dari Cilacap dan Cirebon. Keduanya bekerja di perusahaan Italia yang lagi mengerjakan platform untuk sumur gas di tengah laut. Platform itu lebih murah ketika dikerjakan di Qingdao.
Kelak, setelah jadi, platform Italia made in Qingdao itu ditarik mengarungi laut ke salah satu negara di Timur Tengah. Platform itu akan dipakai mengisap gas dari sumbernya di tengah laut.
Usai salat Jumat kami berkumpul di halaman masjid. Luas. Udara sejuk. Matahari sangat terik di pukul 14.30. Salat Jumat di Qingdao memang baru dimulai hampir pukul 14.00.
Kebanyakan orang KAI tersebut adalah masinis –sopir kereta. Mereka sebenarnya sudah biasa menjalankan KRL made in Japan atau INKA Madiun. Tapi mereka harus training lagi. Yang akan mereka jalankan nanti KRL made in Qingdao.
Lima rangkaian KRL itu sudah tidak di Indonesia: sedang menjalani berbagai test yang dilaksanakan kementerian perhubungan. Masih enam rangkaian lagi yang belum tiba.
“Akhir bulan ini KRL made in Qingdao sudah beroperasi di Jakarta,” ujar salah satu dari mereka.
Bagi mereka Jumat kemarin itu merupakan pengalaman pertama salat Jumat di Tiongkok. Salah satu dari mereka mengenakan baju batik dan kain sarung. “Biar mereka tahu inilah budaya Indonesia,” katanya.
“Kok pakai sarung?”
“Saya NU,” jawabnya.
Khutbah Jumat di masjid tadi pendek sekali: hanya lima menit. Pembukaannya pakai bahasa Arab. Pengucapannya jelas dan fasih. Lalu pakai bahasa Mandarin. Setelah jeda duduk pengkhotbah melanjutkannya dengan doa dalam bahasa Arab.
Selesai. Lima menit tepat. Seperti tepatnya jadwal KRL.
Saya sudah tiba di masjid itu satu jam sebelumnya. Masih sepi. Dua orang Tionghoa duduk di kursi taman. Saya coba ajak ngobrol dalam bahasa Mandarin.
“Saya dari Indonesia. Anda dari daerah mana?”
“Saya dari Qinghai,” jawabnya. “Qinghai itu jauh sekali. Di bagian barat Tiongkok”, katanya.
“Saya tahu. Saya sudah beberapa kali ke Qinghai. Banyak sekali masjid di sana,” kata saya.
Ia tampak heran mendengar saya pernah ke Qinghai.
“Kalau Anda dari mana?” tanya saya kepada yang satunya.
“Saya dari Xining,” jawabnya.
“Oh… Jauh juga. Saya pernah ke Xining. Di Xining juga banyak sekali masjid,” kata saya.
“Ke Xining untuk wisata?” tanyanya.
“Tidak. Saya ke Xining untuk ke gurun Ghobi. Saya ingin tahu pembangkit listrik tenaga angin yang sangat banyak dipasang di gurun Ghobi,” jawab saya.
Lalu berdatanganlah anak-anak muda mirip wajah Asia Tengah. Saya pun menyapa mereka. Satu bernama Ahmadullo dari Tajikistan. Satunya bernama Alibek dari Kazakstan. Satu lagi Abdullah Khan dari Afghanistan.
Mereka semua mahasiswa. Mereka belajar bahasa Mandarin di Qingdao. Masih ada lagi dari Syria. Dari kota Aleppo –yang hancur akibat perang panjang di Syria. Ada pula dari Maroko. Dari Kashmir. Dari New Delhi. Kami, dari tujuh negara yang berbeda, saling berbicara dalam bahasa Mandarin.
“Apa kabar?” tiba-tiba yang dari Tajikistan menyapa saya dalam bahasa Indonesia.
“会讲印尼话吗,” tanya saya balik.
Dia bilang, ada 30 mahasiswa dari Indonesia di kampusnya di Qingdao –dua jam naik kereta ‘’C’’ dari Rizhao.
Kami pun sama-sama masuk masjid. Ke tempat ambil air wudu dulu. Semua berwudu cara Tiongkok: sambil duduk. Tetap bersepatu.
Mereka membuka kran air sambil duduk. Berkumur. Basuh muka. Tangan. Telinga. Rambut. Lalu menutup kran. Setelah itu barulah membuka sepatu kanan. Buka kaus kaki. Ambil ceret/teko. Membasuk telapak kaki kanan dari air ceret –bukan lagi air kran. Setelah basuh kaki ambil handuk kecil. Telapak kaki yang basah dikeringkan dengan handuk. Lalu pakai kaus kaki. Pakai sepatu kanan.
Setelah itu, barulah melepas sepatu kiri. Lepas kaus kaki. Basuh telapak kiri dengan air teko. Dikeringkan dengan handuk. Kaus kaki kiri dipakai lagi. Lalu pakai sepatu.
Karena itu wudunya harus sambil duduk. Lama. Tempat duduknya banyak. Tekonya juga banyak. Lihat di foto yang menyertai artikel ini.
Setelah wudu, kami naik ke masjid. Di lantai dua. Lantai bawahnya untuk kantor dan berbagai kegiatan.
Ruang masjid ini besar. Bisa untuk 10 baris. Tiap baris –saya hitung satu per satu– 30 orang. Berarti lebih 300 orang yang salah Jumat kemarin: termasuk yang di teras.
Acara pertama di ruang masjid: seorang bersurban duduk di depan menghadap jamaah. Orangnya tua. Ia membaca Quran –surah Ali Imran sampai selesai. Lantas ia naik mimbar: ceramah agama: dalam bahasa Mandarin. Lama: 15 menit.
Setelah selesai ceramah semua orang berdiri. Salat sunah. Dua rakaat. Mereka empat rakaat. Lalu seorang dengan surban berekor berdiri. Azan. Tanpa lagu. Selesai azan penghotbah naik mimbar. Isi khotbahnya: makna surah Ali Imron.
Usai salat Jumat kami semua berdiri siap-siap meninggalkan masjid. Kami, yang dari Indonesia, jadi tontonan. Mereka tidak ada yang ingin langsung meninggalkan masjid. Mereka salat sunah dulu masih di tempat berdiri masing-masing.
“Saya sedih mendengar khotbah tadi,” ujar salah seorang karyawan KAI saat ngobrol di halaman masjid.
“Kenapa?”
“Karena tidak mengerti artinya,” kata temannya. Ia mengangguk. Kami semua tertawa.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 3 Mei 2025: MBG Rizhao
MZ ARIFIN
GELENG KEPALA. Bisa berarti: ogah. Bisa berarti kagum. Ada angguk kepala. Ada besar kepala. Ada kepala batu. Kepala manyun. Ada NDASMU. Pusing kepala. Kepala suku. Kepala sekolah.
thamrindahlan
Jalan jalan ke negri cina/ Lupa kampung krna terpesona/ Perusuh diajak kemana mana/ Diajak membaca fatamorgana/
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
RIZHAO: KOTA KECIL, CAHAYA BESAR.. Catatan Harian Dahlan/ DISWAT hari ini membuka mata bahwa kemajuan tak selalu ada di kota besar. Rizhao, yang setara Trenggalek, ternyata menjadi episentrum ilmu kedokteran jantung Tiongkok. Sampai dokter Indonesia pun belajar di sana. Ini pelajaran penting: pembangunan berkualitas tidak melulu soal “skala”, tetapi soal “visi”. Menarik pula melihat ironi lucu di balik huruf kereta cepat: “D” untuk cepat, “G” untuk super cepat, “C” untuk pelan — mirip klasifikasi tugas akhir mahasiswa: Draft, Good, dan Coba Lagi. Di balik teknologi, ada cerminan karakter bangsa: efisiensi berlapis. Dan juga ada, kode “prioritas”. Dan soal MRI buatan Tiongkok yang sebentar lagi masuk Indonesia, ini sekaligus tantangan bagi rumah sakit daerah dan politisi kita. Jangan sampai alat canggih malah jadi pajangan museum karena tak ada SDM yang mumpuni. ### (Yang unik: Matahari pun “takluk” pada kota Rizhao. Rasanya, matahari sendiri mungkin bingung kenapa kota kecil ini begitu percaya diri. Tapi begitulah, kadang cahaya paling terang justru muncul dari tempat yang tak kita duga).
Arsen andaru
Mahasiswa yg dr Muncar alumni SMA/SMK mana ya Bah? Kebetulan selisih 2 kecamatan dgn rumah saya di Purwoharjo. Mgkin bisa di bahas lebih detail ttg kisahnya bisa kuliah sampai ke Tiongkok. Padahal ayahnya “hanya” sopir. Agar bisa menjadi Inspirasi bagi anak anak lainnya. Btw pendaftaran gathering #4 blm di buka kah?
Lagarenze 1301
Saya jarang membaca ahli otomotif Indonesia dikirim belajar ke Tiongkok. Belajar ilmu mobil listrik. Agar bisa dipraktikkan secepatnya. Dengan membuat mobil listrik sendiri. Kalau ahli medis, sering. Seperti yang ditulis CHD hari ini. Dokter Jagaddhito dan Dokter Rachim Enoch. Keduanya ahli jantung. Belajar di Rizhao. Sejauh ini, Indonesia baru menjadi pasar yang baik. Mobil EV Tiongkok laris manis. Terutama yang mereknya tiga huruf itu. Yang tak henti membuat terobosan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saja BYD SeaGull masuk ke pasar Indonesia. Di Tiongkok, SeaGull harganya hanya Rp 175 juta. Kalau saja di sini dijual dengan harga Rp 200 jutaan, saya yakin peta pasar akan berubah. Mobil LCGC akan menjadi barang kuno. Pirtinyiinnyi: sampai kapan Indonesia menjadi pasar yang gemuk bagi mobil EV Tiongkok?
Liáng – βιολί ζήτα
CHDI : “Benar. Indah sekali. Klaim itu tidak berlebihan.” Kasihan sekali ya Abah DI….. sepertinya baru kali pertama menyaksikan Sunrise….. rada-rada gimana gitu….. wkwkwkwkwk….. Emang ada gitu – Sunrise yang luar biasa – seperti yang Abah tulis mengenai di Rìzhào itu ?? Sunrise ya Sunrise….. di mana pun nampak indah, terutama di pantai….. lha wong Matahari-nya sama koq !! By the way, bulan Mei ini, Sang Mentari “sangat bersahabat”. Hadir sekitar pukul 5 pagi, tetapi pamit belakangan – sekitar pukul 9 malam. Puncaknya bulan depan, Juni – selama 17 jam lebih Sang Mentari akrab menemani. Namun, di bulan Desember, sepertinya Sang Mentari “ngambek”. Hadir terlambat, pamitnya pun lebih awal, hanya rela menemani sekitar 7 jam saja. Kira-kira reaksinya Abah DI gimana ya….. kalau menyaksikan Sunrise yang terlambat ataupun Sunset malam hari ?? Saya bantu jawab-in ya Abah….. khawatir Abah DI sungkan….. “ngga gimana-gimana, wong yang kayak gitu ngga ada di Tiongkok….. pokok e sing apik-apik adanya hanya di Tiongkok….. ngga ada di lain tempat, titik ngga paké koma…..” Wkwkwkwkwk…..
Everyday Mandarin
@Wilwa Tidak ada sejarah atau legenda matahari di kota Jogja. Orang dulu menamakan kota Jogja menjadi Rire (日惹) tidak berpikir ke arah “matahari yang menarik hari”. Penamaan itu semata karena 2 huruf itu dalam Hokkien dibaca Jit Jua, yang terdengar menyerempet Jogja. Hal yang sama juga berlaku Batavia menjadi 巴城 (Hokkien: Pa Sia), Bandung jadi 萬隆 (Ban Long), Semarang jadi 三寶瓏 (Sam Po Long), dan kota² lain di Indo. Kalau Palembang jadi 巨港 (Ku Kang/Pelabuhan Raksasa), ini memang sudah terkenal sebagai Pelabuhan Besar Sriwijaya.
Wilwa
@Alfonso/EM. 惹 terdiri dari dua simbol 若 di atas dan “heart” 心 di bawah. 若 = rumput 艸 (di atas) dan tangan kanan 右 (di bawah). Ini adalah aksara dinasti Han/Tang setelah Masehi. Untuk mengetahui makna sesungguhnya dari 若 maka kita harus menariknya jauh sebelum Masehi yaitu ke Dinasti Shang sekitar 3500 tahun lalu. Dari aksara kuno Dinasti Shang itu diketahui bahwa 若 adalah sebuah pictograph dari seorang (wanita) yang sedang menyisir rambut. Karena itulah kemudian 惹 punya makna “to attract” selain “to provoke”. Bayangkan saja seorang wanita yang cantiknya 5i sedang menyisir rambut panjangnya. Menarik. Menggoda. Setidaknya demikian menurut analisis pakar aksara kuno. Bukan menurut saya lho ya. Jadi 日惹 atau Jogja dalam Mandarin itu bolehlah diterjemahkan Matahari 日 yang Menarik hati 惹 ☕️
Everyday Mandarin
Masih ttg nama 日. Kenapa Kota Jogja dalam Mandarin disebut Rire 日惹? Arti huruf ini memprovokasi matahari. Ga nyambung kan? Ini harus dikaitkan dengan Bahasa Hokkian. Dalam Bahasa Hokkian, huruf 日惹 dilafalkan Jit Jua. Terdengar agak menyerempet kata Jogja.
Everyday Mandarin
Lalu nelayan-nelayan Jepang yang tiba di Rizhao juga ikut-ikutan memandang ke arah timur pantai. Mereka pun bergumam, “Ternyata benar negeri asal kita adalah negeri asal matahari terbit”. Mereka pun pulang ke Jepang dan mengabarkan ke semua orang di sana bahwa negeri mereka bernama 日本 (Riben/Nippon). Hingga hari in
Everyday Mandarin
Warga Rizhao boleh berkata matahari bukan terbit dari timur, tapi dari Rizhao. Tapi, faktanya ribuan tahun lalu, saat mereka berdiri di pantai saat matahari terbit, mereka tetap berpikir nun jauh mata memandang di ujung cakrawala timur sana, tetap saja matahari selalu muncul dari sana. Lalu nelayan Jepang muncul dari arah cakrawala tadi menuju ke pantai Rizhao. Ditanya asal mereka. Maka, sejak itulah Rizhao menamai tempat asal nelayan itu sebagai Riben (asal matahari), yang kita kenal sebagai Jepang.
Komentator Spesialis
Saya ada IDE CEMERLANG ! Mempertimbangkan usulan perusuh Bapak Mario dibawah, bagaimana kalau para dewan syuro kita segera membentuk ormas ikatan perusuh Disway saja. Mengingat akhir akhir ini posisi ORMAS sangat strategis di kancah sosial bangsa ini. Karena ini usulan Pak Mario, langsung saja sebagaimana pengusul pemekaran wilayah, si pengusul yang dalam hal ini Pak Mario dijadikan sebagai gubernur, maaf maksud saya ketua ormas kita. Sebagai pembina jelas suami menantu Pak Iskan. Sebagai Think Thank ormas ini, kita angkat yang berotak encer seperti Pak Mirza, Pak Joko, Pak Wilwa, bung Juve, duo Pak Agus dan Bung Liam. Maaf, bung Liam anda lebih cocok jadi ketua wilayah Kalimantan saja. Mbah Mars wilayah DIY, Bung Leong wilayah Darjo, Cak Mul anda wilayah Madura. Saya maunya mengepalai wilayah Jabar. Cuman ngeri saingan sama Herkules, jadi cukup jadi penggembira saja. Untuk nama ormas yang akan kita bentuk, saya usulkan nama : DALAN RISKAN. Dalan artinya jalan. Sedang Riskan itu artinya beresiko. “Jalan yang beresiko”. Karena bikin ormas memang beresiko dibubarkan aparat seperti FPI atau masuk penjara seperti HRS. Waini, ada yang mengusulkan agar ormas baru kita dinamai Forum Simpatisan Isway (FPI). Saya tidak setuju ! Karena melihat track record, ormas yang dibubarkan dan ketuanya dipenjara itu karena dikasih nama FPI. Sedang ormas bernama selain itu so far aman aman saja walaupun pernah bakar mobil aparat ataupun nantangin Gubernur yang memimpin 30 juta lebih rakyat.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
CAMINO DE SANTIAGO PAK SURYATIN SETIAWAN.. Keinginan Pak Dahlan untuk ikut Camino, perjalanan fisik dan spiritual menuju makam Santo Yakobus di Santiago de Compostela, belum terwujud karena rencana bersama keluarga James F Sundah, pencipta lagu “Lilin-Lilin Kecil”, batal karena Pak James berhalangan. Saat ini, teman kantor saya, pensiunan seumuran saya, Pak Suryatin Setiawan, sedang menjalani Camino bersama istri dan putrinya. Mereka memilih berangkat dari Valenca, Portugal, pada April/Mei karena musim semi yang mendukung. Perjalanan mereka terbagi dalam beberapa etape. Sampai etape 3, mereka telah menempuh: 1). Hari 1: Valença (Portugal) – Tui (Spanyol) – O Porriño, jarak ±19 km. Catatan: Menyebrang jembatan Sungai Minho ke Spanyol, mulai mendaki ringan. 2). Hari 2: O Porriño – Redondela, jarak ±19,8 km. Catatan: Melewati hutan, jalan kuno Romawi, dan perbukitan kecil. 3). Hari 3: Redondela – Pontevedra, jarak ±21,5 km. Catatan: Jalur indah dengan pemandangan muara sungai Ría de Vigo. Koper dan barang lain dikirim via Pos, diambil pukul 07.30 setiap pagi dan diantar ke penginapan di etape berikutnya. Kendala yang dihadapi Pak Suryatin adalah jari kaki sakit karena sepatu dan bahu sakit karena tas punggung. ### Mohon bantuan doa tulus manteman agar etape berikutnya lancar dan masalah kesehatan terselesaikan.
Komentator Spesialis
Bicara Banyuwangi, dibawah ada mas @Arsen Andaru dari Purwoharjo, sebelah Muncar. Kebetulan saya sering ke Banyuwangi. Karena memang saya tinggal nggak jauh dari situ. Pantai di Banyuwangi memang top. Ini deretan pantai indah dari Watu ulo dan Tanjung Papuma di Jember yang menurut saya top markotop, sepi nan bagus. Ada pantai Bandi alit yang di sebelah pantai langsung hutan. Waini, untuk ke Pantai Bandialit anda harus rela turun dari mobil Alphard anda ganti motor. Karena harus menembus taman nasional Merubetiri. Ke arah timur kita ketemu pantai Sukamade tempat penangkaran penyu. Ke timur lagi ada pulau merah. Disitu ada tambangnya Pak Sandiaga Uno, Merdeka Copper and Gold di pulau merah yang tak jauh dari pantai. Ke timur dikit ketemu pantai Grajagan. Ini juga indah. Jalan ke timur ada pantai Plengkung, tempat surfing terkenal di dunia. Silahkan surfing asal anda jangan sampai tenggelam. Waini, berikutnya ke timur lagi favorit saya alas purwo. Uindah sekali. Bisa dinikmati pakai kapal. Lalu jalan ke timur baru ketemu Muncar tempat ikan sarden kalengan terkenal. Intinya Pantai di Jember atau Banyuwangi. Saya belum cerita indahnya ketika naik Gunung Ijen dengan Blue flamenya kalau kita naik dari Banyuwangi. Rugi kalau cuman cerita Cina saja pokoknya !