finnews.id – Nilai tukar rupiah kembali melemah pada penutupan perdagangan Selasa, 8 April 2025, seiring sentimen global yang masih tertekan imbas kebijakan tarif resiprokal Trump. Dampak dari langkah Presiden Amerika Serikat tersebut masih membayangi pasar keuangan, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup di level Rp16.891 per dolar AS. Posisi ini turun 69 poin atau melemah 0,41 persen dibandingkan hari sebelumnya yang berada di angka Rp16.822 per dolar AS.
Tarif Resiprokal Jadi Pemicu Utama
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa penyebab utama pelemahan rupiah saat ini masih berkutat pada kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Trump sejak awal April. Kebijakan tersebut menciptakan ketidakpastian dan meningkatkan kekhawatiran akan potensi resesi ekonomi di Amerika Serikat.
“Faktor ini masih jadi pemicu utama karena berisiko memperbesar peluang resesi pada ekonomi AS,” ujar Ibrahim saat dihubungi sore tadi.
Pernyataan tersebut selaras dengan pandangan CEO BlackRock, Larry Fink. Dalam sebuah acara di New York, Fink mengungkapkan bahwa banyak pemimpin bisnis di AS sudah merasakan dampak negatif dari kebijakan tersebut. “Kebanyakan CEO yang saya ajak bicara akan mengatakan bahwa kita mungkin sedang mengalami resesi saat ini,” katanya.
Data Tenaga Kerja AS Tak Kalah Menekan
Di luar kebijakan tarif, sentimen negatif juga datang dari rilis data ketenagakerjaan AS yang jauh melampaui ekspektasi. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan lonjakan lapangan kerja sebesar 228.000 pada bulan Maret, tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Padahal, konsensus sebelumnya hanya memperkirakan peningkatan sekitar 135.000.
Lonjakan ini, meskipun mencerminkan kekuatan ekonomi AS, justru memperkuat dolar dan menambah tekanan terhadap rupiah. “Faktor kedua ini juga mendorong penguatan dolar AS sehingga melemahkan kurs rupiah,” jelas Ibrahim.
Kebijakan tarif resiprokal Trump tidak hanya berdampak pada hubungan dagang global, tetapi juga memberi tekanan nyata pada nilai tukar rupiah. Ditambah dengan data ketenagakerjaan AS yang menguat, pasar keuangan Indonesia menghadapi tantangan ganda. Dalam waktu dekat, pelaku pasar diprediksi akan tetap waspada, sembari menantikan langkah lanjutan dari otoritas moneter. (*)