Tapi mereka rukun. Sama-sama menghormati leluhur mereka: Silalahi Sabungan. Di bagian bawah monumen digambarkan –lewat relief– perjalanan leluhur marga Silalahi di situ. Termasuk riwayat bagaimana sang Raja memilih istri.
Digambarkan: ada tujuh wanita muda dengan baju disingkap, seperti sedang menawarkan diri untuk bisa dikawini sang raja. Tapi sang raja justru memilih wanita yang tidak memamerkan kemolekan tubuh.
Tentu, melihat itu, pikiran saya melayang ke lakon Ande-ande Lumut di teater rakyat di Jawa. Wanita terpilih itu adalah ”pleting kuning” dalam Ande-ande Lumut.
Tiap tahun, ada perjamuan besar di pelataran monumen itu. Penyelenggaranya delapan marga turunan Silalahi. Secara bergantian. Saya lupa yang mana saja delapan dari keseluruhan turunan Silalahi itu.
Meski desa miskin, saya pastikan Silalahi lebih terasa mewah dari rumah Anda. Seluruh rumah di Silalahi punya AC. Bahkan kandang hewan mereka. Kebun dan sawah mereka. Itu AC dari langit. Udara di Silalahi sangat sejuk –seperti di hampir keseluruhan tanah Batak. Cocok untuk makan durian. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 27 Desember 2025: Gembala Sudung
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
JALAN BERLIKU, PIKIRAN LURUS.. CHDI hari ini bukan sekadar kisah patung tertinggi, melainkan pelajaran bahwa akses boleh sulit, visi tidak boleh sempit. Menuju Sibea-bea jalannya berkelok, menurun, naik, bikin rem bekerja lebih keras dari otak sebagian pejabat pariwisata. Tapi justru di situlah pesannya: yang indah memang jarang lurus. Selama ini Danau Toba sering dijual lewat slogan, spanduk, dan seminar. Sibea-bea datang dengan pendekatan berbeda. Diam-diam kerja, tiba-tiba jadi kelas dunia. Tanpa jargon geopark, tanpa kata “berkelanjutan” yang diulang-ulang, hasilnya justru terasa berkelanjutan. Menariknya, ini wisata religi yang tidak eksklusif. Datang boleh beda iman, pulang tetap satu rasa. Yaitu kagum. Itu kualitas universal yang mahal. Bahkan patung mini 90 cm pun punya cerita global—sampai Vatikan. Kecil di ukuran, besar di makna. ### Kalau mau jujur, Sibea-bea seperti cermin. Ia bertanya pelan: mengapa yang begini baru ada sekarang? Jawabannya sederhana dan sedikit menohok. Ysitu karena tidak semua orang berani menuruni gunung dulu demi naik kelas kemudian.