Finnews.id – Kebijakan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas ekspor batu bara menjadi sorotan utama Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Pasalnya, total nilai restitusi pajak yang mencapai Rp 351,05 triliun pada November 2025 dinilai cukup membebani penerimaan negara.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (SEF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengungkapkan pihaknya akan melakukan evaluasi terkait dengan kebijakan restitusi pajak. Khususnya terkait batu bara.
Febrio mengakui PPN komoditas ekspor batu bara cukup mendominasi restitusi. Ia berharap kebijakan bea keluar batu bara yang akan diterapkan tahun depan dapat mengimbangi penurunan penerimaan negara akibat restitusi.
“Restitusi itu menurut peraturan perundang-undangan yang ada itu jelas adalah haknya WP (wajib pajak). Jadi itu harus di-honor (dihormati) sudah pasti. Nah, tapi kan kemudian kita lihat dari waktu ke waktu evaluasi kebijakannya,” jelas Febrio.
UU Cipta Kerja Jadi Biang Kerok?
Febrio juga mengakui Undang-Undang Cipta Kerja memberikan konsekuensi bagi penerimaan pajak yang cukup berat.
Dalam undang-undang ini, batu bara yang diekspor dihapuskan PPN-nya sehingga terjadi restitusi.
“Masih ada PPH betul, ada PBB, ada PPN betul. Tetapi karena ada restitusinya itu membuat penerimaan pajaknya jadi relatif terbatas,” ujarnya.
Pemerintah pun telah berdiskusi dengan DPR terkait dengan restitusi dan bea keluar batu bara.