Hasyim Muhammad Abdul Haq
“Di jalan yang nilainya lima,” tulis Pak Dahlan tanpa menjelaskan itu pakai skala berapa. Ditambah tidak ada keterangan itu jalannya enak atau tidak, jadi pembaca umum sulit membayangkan itu skala berapa. Kalau pakai skala Ojol, nilai 5 itu sempurna karena cuma ada 5 bintang di penilaian Ojol. Begitu juga level hotel yang menunjukkan bahwa hotel bintang 5 itu terbaik -meski akhirnya ada juga yang di atasnya-. Pilihan skala lain adalah: nilai 5 dari 10. Ini skala umumnya. Ini yang paling umum. Tapi bisa juga itu nilai 5 dari 100, ini kalau pakai skala Anies Baswedan saat menilai kinerja Pak Prabowo dalam debat Pilpres lalu… Hehe…
Prieyanto
Nggandol Truck, Mbolang niat ke Luwuk, eh mendaratnya malah di Morowali. Cuma demi lihat smelter nikel, lanjut darat sampai dua hari. Opo tumon? Pura-pura cari rental mobil, padahal sebenarnya nunggu ada yang menyapa dan nawari tumpangan. Cara klasik ala Abah DI: jalan dulu, urusan nanti. Nekat tapi kok ya selalu kejadian. Baca ini langsung keinget jaman SMP: pengin camping ke Pantai Prigi Trenggalek, duit nol, izin ortu nggak dapet. Nekat jalan ber-4 dengan teman, bawa tenda dan bahan makanan seminggu. Prinsipnya sama: berangkat dulu. Urusan sampai tujuan, pikir belakangan. Hasilnya? Nggandol truk 3 kali plus pickup 1 kali. Ternyata, dari dulu sampai sekarang, resepnya tetap: nekat + niat = jalan selalu ada. #prie
Jokosp Sp
Kenapa daerah penghasil tambang dan mineral tidak maju daerahnya?. Karena pembagian yang tidak adil antara daerah kabupaten pengasil, provinsi dan pusat yang sangat “njomplang”. Dana Bagi Hasil Pertambangan Mineral dan Batubara yang diterima : Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya dapat 2%, Pemerintah Kabupaten/Kota Penghasil dapat 2,5%, Pemerintah Provinsi dapat 1,5% dari keuntungan bersih, dan ke Pemerintah Pusat porsi terbesarnya dari seluruh hasil, termasuk keuntungan bersih (royalti) pemegang IUPK. Ini sangat beda dengan pembagian DBH Minyak Bumi dan Gas. Perinciannya 80% kembali ke daerah (32% Kabupaten/Kota Penghasil, 16% Provinsi, 20% Kab/Kota Lain di Provinsi, dan sisanya 12% di luar skema DBH biasa, dengan 8% tambahan jika ada fasilitas pengolahan di luar penghasil). Pembagian itu diatur dalam UU No 4 Thn 2009 Tentang Minerba, dengan perubahan RUU Minerba yang menaikkan porsi daerah. Aturan spesifiknya ada di PP55/2005 tentang Dana Perimbangan yang mencakup DBH SDA (Sumber Daya Alam). Daerah Kabupaten Penghasil sudah dapatnya kecil, masih seringnya kalau perusahaan mau bantu mintanya bentuk uang, bukan bantuan fisik. Sementara perusahaan atau industri maunya berupa bantuan CSR dalam bentuk fisik, agar tidak dilakukan penyimpangan dan mudah diaudit (mudah dalam pertanggung jawabannya). Yang terlihat maju cuma beberapa daerah saja, sebagian besarnya ya begitu-begitu saja. Ini cermin kalau korupsi masih jadi nafas kehidupannya. Dana dari pusat malah dijadikan deposito.