Sejak pertama kali diterbitkan pada 2015, Indonesia konsisten masuk pasar Samurai Bonds setiap tahun, dengan total penerbitan mencapai 1,266 triliun yen hingga Mei 2025. Tahun 2024 bahkan menjadi salah satu yang terbesar, mencapai 200 miliar yen, disusul penerbitan terbaru di Mei 2025 senilai 103,2 miliar yen.
Namun dinamika pasar Jepang tahun ini sangat berbeda dibanding lima hingga delapan tahun lalu. Pada Mei 2025, pemerintah menawarkan kupon dengan level yang tinggi dalam sejarah penerbitan Samurai Bonds.
Kenaikan kupon ini bukan hanya berasal dari risiko Indonesia, melainkan juga karena biaya dana di Jepang melonjak tajam. Yield obligasi pemerintah Jepang (JGB), yang menjadi acuan utama pricing Samurai Bonds, terus mengalami kenaikan di sepanjang 2025 hingga menyentuh level tertinggi sejak 2008. Investor Jepang menuntut return lebih besar seiring kekhawatiran terhadap perekonomian Jepang.
Kondisi ini membuat Samurai Bonds yang dulu dikenal sebagai sumber pendanaan murah bagi Indonesia berubah menjadi lebih mahal dan lebih sensitif terhadap sentimen pasar Jepang.
Selain itu, ketika ekonomi domestik Jepang melemah dan investor menghadapi volatilitas tinggi, mereka cenderung memprioritaskan aset berdenominasi yen di dalam negeri, terutama ketika yield JGB naik. Ini berpotensi mengurangi minat investor Jepang terhadap obligasi asing, termasuk yang diterbitkan Indonesia.
Jika tren kenaikan suku bunga Jepang berlanjut, pemerintah RI perlu lebih berhati-hati dalam menentukan momentum penerbitan Samurai Bonds berikutnya. Strategi seperti pemilihan tenor yang lebih pendek, penggunaan credit enhancement, atau diversifikasi ke pasar Eropa, Amerika, maupun domestik, bisa jadi semakin penting untuk menjaga biaya utang tetap efisien.
Dengan kata lain, gejolak pasar Jepang membawa dampak langsung ke arah pembiayaan Indonesia. akses tetap terbuka, tetapi biayanya kini jauh lebih tinggi dibanding era suku bunga negatif Jepang.