Murid SD Internasional
@Pak Dosen Imau Compo “Sekarang, katanya 1/5 APBD untuk pendidikan, sementara uang kuliahnya naik 5 kali (?) Kita sdh masuk tahun ke-5 bonus demografi, lho! Jangan sampai anugerah ini jadi bencana”. Wah saya kecewa. Saya pikir Pak Dosen @Imau Compo ini mindset-nya revolusioner. Ternyata mindset-nya masih: “semakin banyak anggaran pemerintah untuk pendidikan, maka masalah selesai”. Padahal inti advantage dari bonus demografi adalah semakin berkurangnya mismatch antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Sedangkan inti dari persoalan pendidikan-industri itu bukan sekadar kurang dana, tapi kegagalan desain model nilai. Pak Dosen @Imau Compo ternyata memperlakukan bonus demografi sebagai beban fiskal, bukan engine ekonomi. Kalau narasinya “APBD harus besar supaya kampus bisa mendidikan mahasiswa/i lebih banyak”, itu artinya talents dianggap sebagai cost-center, bukan profit-center yang bisa menghasilkan nilai ekonomi mandiri. Logika produktivitas itu kan begini: Bonus demografi –> Talents –> Pasar –> Produk –> Arus Kas –> Pajak –> Fiskal Kuat Logika Pak Dosen @Imau Compo, malah sebaliknya: Bonus Demografi –> Pendidikan Mahal –> Nambah Subsidi –> APBD Tekor Masalah kampus bukan cuma pendanaan, tapi: 1. Kurikulum masih statis. 2. Exposure ke industri masih minim. 3. Skill demand tidak dipetakan ke kapasitas supply industri. Model kampus masih kuno begitu, saya sendiri kalau jadi kepala daerah ogah, nginject dana besar-besaran. Outputnya sarjana pengangguran lagi.
Bahtiar HS
Awal 70an itu rasanya saya juga masih pakai “koteka”. Ibu saya memakaikan semacam kain segi empat yg diambil dari bekas jarit/baju yg sdh tdk dipakai, dipotong, diambil yg msh bagus. Dipakaikanlah ke bawah perut saya hingga terbungkus rapi. Lalu ditali. Kadang di dalamnya diisi lipatan kain shg kalau pipis/eek tdk langsung tembus keluar. Sesederhana itu. Tp itu sangat bermanfaat utk mempercepat kita nyelesaikan toilet training (risih banget kalau BAB/BAK kalau gak segera diganti), lalu segera mandiri ke toilet. Setidaknya bilang kalau kebelet shg tdk ngompol/eek di koteka. Dan si kain koteka bs dipakai ulang. Tinggal cuci saja. Hemat di ongkos. Kalau anak2 sekarang dipakaikan koteka modern yg disebut pampers. Dg segala keunggulannya, pampers itu membuat si bayi nyaman meski lagi BAK, bahkan BAB. Kenyamanan ini memberi dampak buruk: memperlambat masa toilet training, anak merasa nyaman meski sedang najis, anak tdk segera bs lepas pampers dan tentu berpengaruh langsung pd APBRT krn sekali pakai. Kelamaan pakai jg menyebabkan ruam, infeksi, iritasi bahkan alergi kulit bagi pemakainya. Blm lagi pampers menjadi penyumbang 31% limbah yg mencemari sungai di Surabaya menurut data Bank Dunia. Jangan2 budaya adiluhung nenek moyang kita dulu lebih bagus ketimbang temuan2 dari inovasi modern saat ini? Koteka misalnya. Secara fisik, bukankah koteka memaksa ituuunya selalu tegak ke atas? Jgn2 ini lbh ampuh dr metode Pak Agus? Jadi gak sabar lihat Abah pakai koteka! Wkwkwk