finnews.id – Warga Gaza tanpa tempat tinggal menjadi realitas yang semakin menyakitkan setelah musim dingin pertama sejak gencatan senjata mulai berlangsung. Curah hujan deras menghantam wilayah itu dan tenda seadanya bocor serta roboh.
Banyak keluarga menghabiskan malam dalam kondisi dingin ekstrem tanpa makanan layak dan tanpa kehangatan selimut. Situasi ini memperlihatkan kegagalan sistem bantuan kemanusiaan dalam menghadapi kebutuhan mendesak, terutama karena hambatan regulasi, perizinan, serta kontrol distribusi di perbatasan.
Kondisi lingkungan yang penuh lumpur dan air kotor semakin mempercepat risiko penyakit saluran pernapasan, flu, serta infeksi kulit pada anak-anak dan orang tua.
Gambaran Umum tentang Krisis Pengungsian
Kondisi darurat ini berakar pada kehancuran infrastruktur skala besar akibat perang selama dua tahun. Menurut laporan lembaga bantuan internasional, lebih dari 80 persen bangunan hancur, termasuk rumah, sekolah, fasilitas publik, rumah sakit, serta jaringan sanitasi.
Jumlah ini menciptakan gelombang pengungsian terbesar dalam sejarah Gaza dan warga Gaza tanpa tempat tinggal terus bertambah setiap pekan.
Banyak keluarga bertahan dalam tenda berbahan selimut bekas, plastik tipis, atau potongan terpal. Selain itu, hujan deras memaksa mereka untuk tidur dalam kondisi basah, karena genangan air bercampur dengan limbah dan sisa reruntuhan bangunan.
Kebutuhan Bantuan Kemanusiaan Mendesak
Permintaan Distribusi Tenda dan Peralatan Darurat
Organisasi kemanusiaan sudah mengajukan permintaan bantuan lebih besar, termasuk distribusi tenda yang tahan hujan, alas tidur, serta bahan logistik lainnya.
Namun, proses administrasi semakin lambat karena aturan baru yang mewajibkan registrasi kelompok bantuan serta pembatasan barang tertentu yang dianggap berpotensi digunakan untuk tujuan militer.
Akibatnya, warga Gaza tanpa tempat tinggal menunggu bantuan dalam kondisi memprihatinkan.
Banyak bantuan berupa tenda, matras, dan selimut justru tersimpan lama di gudang perbatasan karena prosedur perizinan dan pemeriksaan keamanan yang rumit.
Selain itu, pasar gelap mulai muncul karena kecilnya pasokan bantuan yang masuk. Harga tenda melonjak drastis hingga ribuan dolar, sesuatu yang tidak mungkin terjangkau oleh warga yang kehilangan penghasilan selama konflik.
Kondisi ini memperlihatkan rantai distribusi bantuan yang kurang terkontrol dan kurang efektif, sehingga ketidakadilan semakin terlihat di pengungsian.
Banyak keluarga terpaksa tidur kembali dalam tenda yang robek, karena mereka tidak memiliki kemampuan finansial dan tidak ada alternatif perlindungan lain.