Cara Prof Jimly berkomunikasi juga terlihat lebih ”dingin” –dinginnya es batu: keras. Anda masih ingat saat Prof Jimly jadi ketua dewan etik yang mengadili ketua Mahkamah Konstitusi: Anwar Usman. Putusannya begitu independen. Ia tidak terpengaruh oleh kekuatan penguasa yang sangat berkuasa saat itu.
”Jalan tenang” lainnya bisa dilihat siapa saja anggota tim itu: ada tiga mantan kapolri. Masih ditambah kapolri yang menjabat sekarang. Ini sekaligus untuk mengakomodasikan niat dari dalam Polri: bahwa Polri sendiri sudah membentuk tim reformasi.
Lalu masih ada mantan petinggi Polri seperti Ahmad Dhofiri –yang sejak lama ingin mereformasi institusinya sendiri.
Komite Reformasi Polri seusai dilantik di Istana Kepresidenan, Jakarta-Anisha Aprilia-
”Jalan tenang” ini mungkin tidak memuaskan kelompok yang menginginkan perombakan Polri sangat radikal. Tapi Jenderal Prabowo lebih berhitung strategis. Ribut-ribut yang mungkin timbul akibat reformasi radikal akan bisa mengguncang stabilitas. Itu tidak menguntungkan.
Yang penting rambut berhasil ditarik dari dalam tepung tanpa tepungnya berserakan. Presiden SBY –sejak menjabat kassospol TNI– berhasil melaksanakan reformasi TNI dengan sangat mulus.
Padahal sebelum itu TNI menguasai hampir seluruh bidang kehidupan: di jabatan-jabatan pemerintahan, di BUMN, di perpolitikan.
Hebatnya TNI bisa menerima reformasi itu dengan sangat lapang dada –sebagai keharusan sejarah. Padahal TNI punya segala-segalanya untuk menggagalkan reformasi itu. Terutama punya senjata. Tapi TNI pilih menyelamatkan bangsa ini: agar Indonesia bisa menjadi negara sejahtera dan maju.
Tapi setelah 25 tahun TNI kembali ke barak, Anda bisa melihat sendiri apa yang terjadi. ”Pengorbanan” besar TNI itu belum membawa Indonesia seperti yang diinginkan reformasi. Indonesia masih menjadi pasien. Sudah 25 tahun menjadi pasien. Di beberapa bidang justru kian parah.
Kini ”dokter Prabowo” menangani pasien itu. Prof Jimly sudah mencanangkan target: dalam tiga bulan sudah bisa melaporkan hasilnya kepada Presiden.