Nama sang istri: Nisa. Lengkapnya: Khoirunnisak Rusli. Umurnyi hanya selisih satu tahun dengan sang suami, Rokhmat Sholikhuddin, 41 tahun.
Waktu tahu hanya dia yang bergolongan darah sama, Nisa tidak berpikir dua kali. “Saya siap,” katanyi di tengah kerumunan keluarga.
Saya amati wajahnyi: tidak terlihat sedikit pun ragu. Dia paham sepenuhnya penjelasan yang saya berikan: hatinyi akan dipotong separo. Lalu dipasang di dalam dada sang suami.
Transplant hati beda dengan ginjal. Hati sang suami akan ”dibuang” seluruhnya. Di tempat hati itulah dipasang separo hati sang istri.
Sedang untuk transplant ginjal, ginjal yang sakit tetap di tempatnya. Ditemani ginjal baru dari donor. Lama-lama ginjal aslinya mengecil. Tidak berfungsi. Digantikan ginjal baru. Disebut cangkok ginjal. Istilah “cangkok” itu tidak ada dalam transplant hati.
Nisa sama sekali tidak mengajukan pertanyaan ke saya. Dia pasrah saja mana yang terbaik. Sebelum itu memang sudah saya jelaskan: bahwa setelah diambil separo nanti hatinyi yang tinggal separo akan tumbuh. Dalam tiga bulan akan kembali utuh seperti sedia kala.
Pun separo hati yang dipasangkan di suami. Dalam tiga bulan akan menjadi satu hati yang utuh. Kalau operasinya sukses.
Nisa sangat paham penjelasan saya. Nisa wanita cerdas. Dia seorang sarjana. Sarjana keperawatan pula. Alumnus Universitas Airlangga, Surabaya.
Ketika berangkat menuju Beijing saya tanya perasaannyi: seberapa khawatir dia akan keselamatannyi saat hatinyi dipotong nanti. Jika skalanya 1 sampai 10; di level berapa.
“Level satu,” katanyi.
“Anda wanita hebat,” puji saya. Saya pun lega. Bayangkan kalau Nisa sampai nangis-nangis ketakutan.
Lalu saya bertanya hal yang sama: soal perasaan suami. “Kalau kekhawatiran Mas Olik kira-kira di level berapa?” Olik adalah panggilan sang suami.
“Mungkin di level lima,” jawabnyi.
Saya tidak bertanya langsung ke Mas Olik. Tidak tega. Di perjalanan ini ia di kursi roda. Terlihat menderita. Kesakitan.
Saya hampir tidak pernah bicara dengan Mas Olik. Waktu di rumahnya pun saya lebih banyak bicara dengan ayahnya: Haji Mukri. Mas Olik mendengarkan sambil tergolek di tempat tidur. Sesak napas. Perutnya membesar. Sirosis hatinya sudah sangat parah. Akibatnya, hati tidak bisa memproduksi albumin.