Kelompok lingkungan menyebut proyek ini mengambil risiko besar terhadap habitat hutan hujan tropis yang dilintasi pembangunan jalan tol, zona industri, dan pemukiman baru.
Sebagian masyarakat adat pun memprotes karena merasa belum menerima manfaat jelas dan bahkan mengalami gangguan terhadap sumber air dan lahan mereka.
Melihat semua aspek tersebut,dana yang menipis, konstruksi yang melambat, relokasi yang terbatas, dan kritik lingkungan serta sosial yang tajam banyak pengamat menyimpulkan bahwa Nusantara berpotensi menjadi proyek “white elephant” (monumen megah yang tidak berfungsi).
The Straits Time menyebut, hanya 800 hektar dari 6.600 hektar area inti pemerintah yang siap dikembangkan hingga pertengahan 2025.
Pemerintah sendiri membantah bahwa proyek berhenti atau gagal. Pejabat otoritas ibu kota baru menyatakan bahwa pendanaan hanya “dialihkan, bukan dipotong”, dan bahwa komitmen politik tetap ada.
Meski demikian, untuk mewujudkan janji awal, seperti relokasi seluruh pemerintahan dan 1,2 juta penduduk pada target 2030—masih dibutuhkan dorongan besar baik dari sektor publik maupun swasta.
Dengan kondisi saat ini, banyak pihak mempertanyakan satu hal penting: apakah Nusantara akan benar-benar menjadi pusat pemerintahan modern Indonesia, atau justru akan menjadi kota simbol yang jarang dihuni dan penuh gedung kosong? Waktu akan memberi jawaban.
- dana negara untuk ibu kota baru Indonesia menurun
- dana pembangunan
- dana proyek Nusantara
- Headline
- ibu kota baru Indonesia
- ibu kota baru Nusantara
- Indonesia
- konstruksi
- Lingkungan
- masyarakat adat
- mengapa Nusantara terancam kota hantu
- nusantara
- proyek ibu kota baru Nusantara Indonesia
- relokasi ibu kota
- relokasi Nusantara