Narasi tersebut langsung menuai protes keras dari berbagai pihak. Menurut kuasa hukum Prabu, Elmanta Sitepu, ucapan tersebut bukan hanya tidak etis, tapi juga mengandung unsur penghinaan dan fitnah terhadap kiai dan santri.
“Ini jelas menyudutkan tradisi luhur di pesantren. Tradisi mencium tangan kiai adalah bentuk adab, bukan ajang transaksi. Tayangan tersebut menyesatkan dan berpotensi memecah belah masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu pihak Trans7 sendiri diketahui sudah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas tayangan tersebut. Namun, pihak pelapor menilai permintaan maaf itu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.
“Kami hargai permintaan maaf itu. Tapi, seperti kata pepatah: memaafkan iya, melupakan tidak. Hukum harus tetap berjalan agar ini tidak terulang,” ucap Mudassir tegas.
Dalam laporan polisi yang diajukan, para pelapor menjerat pihak Trans7 dengan pasal-pasal yang cukup berat. Di antaranya adalah Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian.
Saat ini, status terlapor masih dalam tahap penyelidikan oleh pihak kepolisian. Belum ada keterangan resmi apakah akan ada pemanggilan terhadap pihak produser, penulis naskah, atau pembawa acara yang terlibat dalam tayangan tersebut.
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi media massa agar lebih berhati-hati dalam menayangkan konten, terutama yang berkaitan dengan agama dan budaya. Tradisi di pesantren bukanlah sesuatu yang bisa diperlakukan sembarangan demi hiburan atau sensasi semata.
Masyarakat berharap agar ke depan, media memiliki standar etika yang tinggi dan menghormati keberagaman nilai di Indonesia. Kritik boleh, tapi harus tetap pada tempatnya. Apalagi jika menyangkut kehormatan kiai, santri, dan pondok pesantren, bagian penting dari wajah Islam di Indonesia.