finnews.id – Mantan Presiden Republik Demokratik Kongo, Joseph Kabila, dijatuhi hukuman mati secara in absentia atau tanpa kehadirannya oleh Pengadilan Militer Tinggi negara itu pada Selasa 1 Oktober 2025. Vonis ini menambah panjang daftak hukum mantan penguasa yang memimpin negara tersebut selama 18 tahun.
Dilaporkan oleh kantor berita Anadolu, pengadilan di Ibu Kota Kinshasa memutus Kabila terbukti bersalah atas serangkaian tuduhan berat. Dakwaannya meliputi keterlibatan dalam gerakan pemberontakan, tindakan pengkhianatan terhadap negara, penyiksaan, hingga kejahatan perang.
Jalan Panjang ke Pengadilan
Proses hukum terhadap Kabila mulai bergulir setelah kekebalan parlementernya dicabut oleh Senat pada Mei lalu. Persidangan sendiri baru digelar pada bulan Juli, mengangkat dugaan keterlibatan Kabila dalam aksi-aksi kekejaman yang dilakukan kelompok pemberontak M23 di wilayah Kongo Timur.
Pengadilan mengungkap, di kota Goma dan Bukavu, Kabila disebut-sebut mengadakan pertemuan untuk melakukan permusuhan dan menginspeksi pusat pelatihan milisi M23.
Eks Pemimpin yang Jarang Tampil
Kabila, yang berkuasa dari 2001 hingga 2019, dilaporkan menghabiskan sebagian besar waktunya di Afrika Selatan sejak 2023. Namun, awal tahun ini, dia sempat muncul di publik di Kongo timur dan menyatakan keinginannya untuk pulang guna “berkontribusi mencari solusi atas krisis yang berlangsung.”
Konflik Berkepanjangan di Tengah Upaya Damai
Vonis ini datang di tengah situasi keamanan Kongo yang kian runyam. Kongo Timur, yang menjadi episentrum konflik, tercatat sebagai salah satu wilayah dengan konflik paling berkepanjangan di Afrika.
Sejak Januari, tensi keamanan semakin memanas dengan merebaknya pertempuran baru antara pasukan pemerintah dan pemberontak M23. Kelompok pemberontak tersebut bahkan dilaporkan telah menguasai sejumlah wilayah strategis, termasuk Goma dan Bukavu.
Situasi ini membuat proses perdamaian berada di persimpangan. Meski gencatan senjata lewat Doha Declaration telah disepakati dengan kelompok pemberontak pada Juli lalu, di lapangan, perdamaian seolah terombang-ambing antara progres diplomasi dan bara pertempuran baru di Kongo timur.