Orang Jawa dianggap lebih kaku dan cenderung patuh pada hierarki, sedangkan orang Sunda dikenal lebih santai dan egaliter, perbedaan ini sering dijadikan alasan mengapa pernikahan antara dua suku ini “tidak direkomendasikan”.
Namun, pandangan seperti ini tentu tidak sepenuhnya benar, perbedaan budaya bukanlah alasan utama kegagalan hubungan.
Justru, banyak pasangan dari Jawa dan Sunda yang bisa membangun rumah tangga harmonis karena mereka saling memahami dan menghargai budaya masing-masing.
Berbeda dengan generasi lama, generasi muda kini cenderung lebih terbuka dan tidak terlalu memedulikan mitos atau kepercayaan turun-temurun. Bagi mereka, pernikahan adalah tentang cinta, komunikasi, dan kesamaan nilai hidup, bukan soal asal daerah.
Terlebih, di era digital seperti sekarang, interaksi antar-suku, antar-budaya, bahkan antar-negara sudah menjadi hal biasa. Banyak pasangan Jawa-Sunda yang berhasil menunjukkan bahwa cinta lintas budaya justru bisa memperkaya kehidupan rumah tangga mereka.
Mereka belajar untuk saling kompromi, menghargai adat istiadat keluarga masing-masing, hingga menciptakan “budaya baru” dalam rumah tangganya.
Apa Kata Islam dan Hukum Negara?
Dalam Islam maupun hukum negara, tidak ada satu pun aturan yang melarang pernikahan berdasarkan suku, selama kedua belah pihak sama-sama Muslim (bagi umat Islam), dewasa, dan saling setuju, maka pernikahan bisa dilangsungkan secara sah dan halal.
Begitu juga dalam hukum negara, tidak ada pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang melarang pernikahan lintas suku, termasuk antara orang Jawa dan Sunda.
Artinya, larangan semacam itu murni berasal dari kepercayaan budaya atau mitos turun-temurun, bukan hukum yang mengikat.
Mitos yang Perlu Diperbaiki
Mempercayai budaya dan menghormati tradisi memang penting, tetapi bukan berarti harus mengekang kebebasan seseorang dalam menentukan pasangan hidup.
Mitos orang Jawa dilarang menikah dengan orang Sunda perlu dilihat secara kritis dan kontekstual, agar tidak menjadi penghambat kebahagiaan generasi masa kini.