Kami tidak masuk ke rumah itu. Kami menyusuri halaman becek di sebelah rumah, menuju bangunan khusus di belakang rumah. Yakni bangunan kayu yang sangat sederhana. Berkolong. Beratap daun rumbia. Mereka menyebut bangunan gubuk itu sebagai pendapa.
Lebar pendapa itu sekitar delapan meter. Panjangnya 20 meter. Ada tiang-tiang kayu kecil menyangga bagian tengahnya. Lantainya dilapisi sajadah tipis berjajar-jajar.
Di lantai itulah kami ngobrol panjang: lebih dua jam. Umatnya berdatangan ikut duduk mendengarkan. Akhirnya sekitar 10 orang berkumpul. Salah satunya sudah tidak jadi umatnya lagi –tapi masih berhubungan baik.
Awalnya kami duduk bersila. Tapi karena pembicaraan amat panjang, sekali sekali kaki kami berselonjor. Sedang nabi Muhammad duduk bersimpuh dengan ujung telapak tegak.
Cara duduk seperti itu ada maksudnya: untuk mengenang kejadian ketika ia dan pengikutnya ditahan di penjara di Makkah. Tangan dan kakinya diborgol. Waktu salat pun borgol tidak dibuka.
Selama di penjara ia salat tanpa bisa melakukan posisi duduk tahiat dengan semestinya. Tahiat adalah satu gerakan bersimpuh dalam salat. Borgol di kakinya menghalanginya untuk bertahiat dengan benar.
Hampir sebulan nabi Muhammad berada di penjara. Dengan selalu duduk seperti itu. Demikian juga 10 orang yang menyertainya. Mereka dipenjara di tempat yang terpisah.
Sepuluh orang itu ditangkap saat melakukan deklarasi kenabian di dekat Kakbah. Sebetulnya 11 orang. Yang satu berhasil lolos –dengan cara melepas seragam. Membaur dengan jemaah umrah dari berbagai negara. Jabir sendiri yang memintanya kabur. Agar dokumentasi yang sudah dibuat tidak terampas.
Sebenarnya 12 orang yang berangkat ke Makkah. Yang seorang, wanita, sedang datang bulan. Tidak ikut ke Masjidilharam. Mereka semua baru sekali itu ke Makkah.
Itu tahun 2015.
Di tahun itu terjadi perbedaan Hari Raya Idulfitri. Makkah beridulfitri sehari sebelum Indonesia. Sehari kemudian 11 orang dari Medan itu melakukan salat Idul Fitri sendiri. Di dekat Kakbah. Sekalian deklarasi kenabian Muhammad.