Penerbitan Sprindik Umum
Untuk memperluas ruang gerak, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum. Sprindik ini menggunakan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Artinya, KPK menilai telah terjadi kerugian negara akibat praktik rasuah dalam pengelolaan kuota haji tambahan tersebut. Dengan adanya sprindik umum, KPK memiliki kewenangan penuh untuk melakukan langkah paksa dalam pengusutan perkara.
Akar Masalah: Kuota Tambahan dari Arab Saudi
Kasus ini bermula saat pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan 20 ribu kuota haji kepada Indonesia pada periode 2023-2024. Kuota ini seharusnya menjadi solusi untuk memotong antrean panjang jamaah haji.
Namun, dalam praktiknya, pembagian kuota justru bermasalah. Dari tambahan tersebut, 50 persen dialokasikan untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus. Padahal, aturan jelas menyebutkan komposisi seharusnya adalah 92 persen untuk haji reguler dan hanya 8 persen untuk haji khusus.
Ketidaksesuaian inilah yang memicu dugaan adanya praktik korupsi. Dengan pembagian yang tidak sesuai aturan, publik mencurigai adanya pihak-pihak tertentu yang diuntungkan.
Komitmen KPK untuk Transparansi
KPK menegaskan komitmennya untuk mengusut kasus ini secara transparan. Setiap langkah penyidikan akan didasarkan pada bukti, mulai dari pemeriksaan saksi, penyitaan aset, hingga penggeledahan lokasi terkait.
“Pemeriksaan saksi, penggeledahan, hingga penyitaan dilakukan agar penyidik bisa mengurai seluruh rangkaian peristiwa dan memastikan siapa saja yang terlibat,” ujar Budi.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut ibadah haji, salah satu rukun Islam yang sangat penting bagi umat Muslim. Dugaan praktik korupsi dalam penyelenggaraan ibadah yang sakral menambah sensitivitas perkara ini di mata masyarakat. (Ayu Novita)