Di sisi lain, Jepang pernah memiliki delapan kaisar perempuan, dengan Kaisar Gosakuramachi sebagai yang terakhir pada abad ke-18.
Namun, sejak Konstitusi 1889 dan Undang-Undang Keluarga Kekaisaran 1947, pewarisan takhta hanya berlaku bagi laki-laki.
Menurut para sejarawan, sistem ini bisa bertahan karena keberadaan selir yang memperbanyak keturunan.
Kini, tanpa selir dan dengan jumlah anggota keluarga yang terus berkurang, sistem itu dianggap tidak lagi relevan.
Putri Aiko, putri tunggal Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako, sejatinya mendapat dukungan publik luas untuk mewarisi takhta.
Namun, aturan melarang perempuan naik takhta, meski wacana perubahan aturan tersebut sempat mencuat pada 2005.
Perdebatan politik yang buntu
Sejumlah panel ahli pernah mengusulkan reformasi. Pada 2022, kelompok konservatif merekomendasikan agar suksesi laki-laki tetap dipertahankan, tetapi perempuan yang menikah bisa tetap berstatus anggota kerajaan.
Bahkan, muncul wacana mengadopsi keturunan pria dari cabang keluarga kerajaan lama yang kini telah bubar.
Meski begitu, debat tersebut berulang kali menemui jalan buntu. Mantan Kepala Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang Shingo Haketa menilai kondisi ini membebani Hisahito seorang diri.
“Pertanyaan mendasarnya bukan apakah akan mengizinkan garis suksesi laki-laki atau perempuan, melainkan bagaimana menyelamatkan monarki,” katanya.
Media konservatif Yomiuri pun mendorong revisi mendesak Undang-Undang Keluarga Kekaisaran agar suami dan anak-anak putri bisa berstatus bangsawan, sekaligus membuka peluang suksesi perempuan.