Tanggapan dari Israel pun tak kalah keras. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menilai pengakuan terhadap negara Palestina di tengah situasi saat ini hanya akan memperburuk keadaan.
“Negara Palestina dalam kondisi saat ini akan menjadi landasan peluncuran untuk melenyapkan Israel, bukan hidup berdampingan secara damai,” ujarnya di X.
Ia menambahkan bahwa langkah tersebut bisa memunculkan kekuatan proksi baru yang berpihak pada Iran dan mendukung ekstremisme.
“Mari kita perjelas: yang dicari Palestina bukanlah negara di samping Israel, melainkan menggantikan keberadaan Israel,” lanjut Netanyahu.
Pemerintah Prancis pun tak tinggal diam. Menteri Luar Negeri Jean-Noel Barrot membela langkah yang diambil Macron. Ia menampik tudingan bahwa keputusan itu menguntungkan kelompok militan.
“Hamas selalu menolak solusi dua negara. Dengan mengakui Palestina, Prancis justru melawan organisasi teroris itu,” ungkap Barrot lewat X.
Barrot menekankan bahwa pengakuan terhadap Palestina justru merupakan bagian dari dorongan terhadap solusi dua negara yang selama ini juga diklaim menjadi pendekatan resmi Amerika Serikat.
Namun, arah kebijakan Washington tampaknya bergeser di bawah kepemimpinan Donald Trump. Sejak kembali menjabat sebagai Presiden pada Januari lalu, Trump mengusulkan ide kontroversial: menjadikan Gaza sebagai wilayah wisata mewah dan mengusir lebih dari dua juta warganya ke tempat lain.
Rencana tersebut menuai kecaman luas dari komunitas internasional, organisasi hak asasi manusia, serta negara-negara di kawasan. Mereka menilainya sebagai bentuk pembersihan etnis yang terang-terangan.
Ketika berbagai pihak kini memperdebatkan arah solusi konflik Israel-Palestina, langkah Prancis tampaknya menjadi titik balik penting dalam peta geopolitik dan diplomasi global terkait isu Timur Tengah. *