Angka ini adalah tamparan keras bagi APBN dan pemerintah. Dana yang sejatinya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, menguap begitu saja akibat praktik korupsi.
Kasus korupsi LPEI ini bukan hanya tentang kejahatan segelintir oknum. Melainkan cerminan telanjang mandulnya sistem pengawasan di lembaga keuangan negara.
OJK dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sebagai dua entitas utama yang memiliki tugas pengawasan terhadap LPEI, kini jadi sorotan.
Wajar jika publik bertanya: Mengapa OJK dan Kemenkeu gagal mencegah tragedi finansial ini?
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyebut kasus LPEI membuktikan tata kelola di lembaga keuangan negara masih bersifat formalisme belaka.
“OJK dari peristiwa korupsi LPEI telah kehilangan kredibilitasnya,” ujar Nur Hidayat kepada Disway.
Dia menganalogikan kondisi ini seperti lampu jalan. Fungsinya hanya untuk penerangan. Namun tanpa kamera CCTV atau patroli polisi.
“Koruptor melenggang bebas di bawah terang lampu hukum. Karena hukum hanya menyinari. Tetapi tidak menindak,” kritik Nur Hidayat pedas.
Mekanisme pengawasan yang ada, lanjutnya, mungkin hanya bersifat administratif. Tanpa substansi yang cukup untuk mendeteksi dan mencegah praktik korupsi.
Nur Hidayat juga menyoroti posisi LPEI yang berada di pinggir regulasi perbankan nasional.
Hal ini menjadikannya celah empuk bagi moral hazard. LPEI, meskipun memiliki regulasi dan prosedur, sangat rentan disalahgunakan.
Tidak diawasi ketat layaknya bank umum. Tidak diaudit berkala oleh auditor independen eksternal.
LPEI bagaikan kolam yang diisi banyak ikan. Tanpa jaring pengaman dari serangan predator koruptor.
“Jika mengkaji tanggung jawab pimpinan, maka logika dasar hukum administrasi publik dan pidana korupsi jelas. Yaitu direksi yang menandatangani dan memerintahkan pencairan tanpa verifikasi, harus dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya.
Penegakan hukum, lanjutnya, tidak boleh tebang pilih. Karena hal itu hanya akan menimbulkan defisit kepercayaan rakyat.