finnews.id – Gerakan Masyarakat Adat Negeri Haya (Gemah) mengkritik keras rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) terkait polemik perusahaan tambang garnet, PT Waragonda Mineral Pratama (WMP) di Negeri Haya Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.
Juru bicara Gemah yang juga tokoh masyarakat Haya, Ali Tuahan menilai, empat poin rekomendasi DPRD Malteng yang dikeluarkan pada Selasa 22 April kemarin, merupakan rekomendasi yang absurd dan membingungkan masyarakat Haya.
“Sebagai anak adat Negeri Haya, beta (saya) sangat tersinggung dengan sikap tidak becus pimpinan DPRD Malteng yang mengeluarkan empat point rekomendasi yang absurd,” ujar Ali Tuahan kepada finnews,id Rabu 23 April 2025.
Tuahan menjelaskan, rekomendasi DPRD itu dianggap absurd karena tidak mencerminkan hasil rekomendasi Komisi II DPRD Malteng termasuk hasil rapat dengan pendapat (RDP) lintas komisi dengan Saniri Negeri Haya, Gemah dan pihak PT Waragonda yang dilakukan beberapa waktu lalu. Saat itu turut hadir pula Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serta Dinas Lingkungan Hidup.
“Di mana salah satu point penting dalam RDP itu adalah penutupan PT WMP agar tidak lagi beroperasi di Negeri Haya” ujar Tuahan.
Menurut Tuahan, sebagai lembaga penyambung lidah rakyat, pimpinan DPRD seharusnya mengakomodir rekomendasi komisi II DPRD dan keinginan mayoritas masyarakat adat Negeri Haya
“Agar PT Waragonda sebagai korporasi yang merampok kekayaan alam berupa pasir garnet dan merusak lingkungan Negeri Haya untuk segera angkat kaki dari wilayah hak ulayat Negeri Haya” tuturnya.
Tuahan menilai, pimpinan DPRD memainkan peran setengah hati dalam membela masyarakat Haya. Seakan menjadi garda terdepan membela kepentingan rakyat, tetapi di lain sisi masih berhadap keberadaan PT Waragonda.
“Membingungkan karna pimpinan DPRD terkesan membela masyarakat Negeri Haya dengan memainkan peran setengah hati sehingga patut diduga karana bermain dua kaki. Seakan akan menjadi garda terdepan membela kepentingan rakyat, tetapi disisi lain masih berharap PT Waragonda melakukan perampokan dan pengrusakan lingkungan di negeri Haya,” kata dia.

Tuahan mempertanyakan poin pertama dalam rekomendasi tersebut. Yang mana DPRD Malteng memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup melakukan audit terhadap analisa dampak lingkungan (AMDAL) terhadap PT Waragonda.
Padahal, kata Tuahan, materi yang telah pihaknya sodorkan ke DPRD Malteng bahwa PT Waragonda beropeasi sejak 2021 sampai pertengahan tahun 2023, telah melakukan kegiatan pertambangan secara ilegal dengan modus eksplorasi.
“Nantinya diatas pertengahan tahun 2023 dengan upaya liciknya PT Waragonda mulai mengontongi berbagai perijinan dari Pemerintah Provinsi maupun instansi terkait dari pemerintah pusat” kata Tuahan
“Oleh karena itu kami menolak Dinas Lingkungan Hidup untuk tidak melakukan aktifitasnya sesuai point 1 rekomendasi tersebut karena hanya akan melaksanakan tugas formalitas belaka yangg ujung-unjungnya Dinas Lingkungan Hidup bersikap sama dengan pimpinan DPRD untuk mendukung PT Waragonda” tegas Ali Tuahan.
Selanjutnya, Tuahan bilang, Gemah juga menolak poin ke dua dalam rekomendasi DPRD tersebut. Di mana pimpinan DPRD Malteng memerintahkan Dinas PTSP melakukan tugas formalitas belaka.
“Bagaimana mungkin dinas PTSP melakukan evaluasi atas ijin-ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat? Itu hanya orang bodoh dan gila saja yan cendrung tergiur dengn rekomendasi abal-abal tersebut,” kata Ali Tuahan.
Menurutnya, seharusnya poin dua dalam rekomendasi tersebut, dituangkan bahwa DPRD merekomendasikan kepada Bupati, Gubernur Maluku dan Pemerintah Pusat untuk Penutupan PT Waragonda dari wilayah hak ulayat adat masyarakat Negeri Haya.
“Terkait dengan rekomendasi point 2 diatas, atas nama masyarakat Negeri Haya juga kami mohon dengan hormat agar dinas PTSP tidak boleh menjalanka rekomendasi DPRD abal-abala tersebut, karenanya kami juga menolak kehadiran aktifitas dinas PTSP di Negeri Haya” katanya.
“Karena yang kami inginkan hanya satu PT Waragonda mutlak angkat kaki dari Negri Haya. Kami sangat benci dengan sikap dramatisasi melindungi kejahatan korporasi dengan modus evaluasi” imbuhnya.
Selanjutnya, poin ketiga dalam rekomendasi DPRD Melteng itu, DPRD Malteng meminta agar dua warga Haya yang ditahan dalam kasus pembakaran perusahaan pada Februari lalu dilakukan secara persuasive bukan represif.
“Ini maksudnya apa? Maksudnya ananda 2 orang yang ada dalam tahanan itu dikeluarkan dari tahanan dengan syarat atas persetujuan pihak PT Waragonda? Agar PT Waragonda tetap melaksanakan aktifitas kejahatannya merampok harta kekayaan alam dan merusak lingkungan di negeri Haya?” tanya Tuahan.
Ali mengatakan, Gemah telah sepakat untuk tetap kawal dua warga Haya yang ditahan itu sampaik ke pengadilan.
“Yang kami inginkan penyelesaian persuasif itu ketika menjelang idul Fitri penangguhan penahanan agar kedua ananda kami bisa bersama dengan keluarganya. Namun lagi-lagi pihak PT Waragonda yangg tidak menghendaki itu, sehingga pihak Polres menyampaikan tidak bisa penangguhan penahanan, melainkan SP3 dengan harapannya melibatkan pihak PT Waragonda” ujar Tuahan.
“Sekarang Idul Fitri telah usai, ruang persuasif telah tertutup untuk menerima kembali kehadiran PT Waragonda ke Negeri Haya. Saya berharap pimpinan DPRD harus intropeksi diri” tuturnya.
Sementara poin ke 4 dalam rekomendasi tu, menurut Tuahan, DPRD Malteng tidak perlu berpura-pura menjadi juru selamat menyelamatkan PT Waragonda, dengan modus mengajak perampok menghormati adat istiadat masyarakat Negeri Haya.
“Karena jika benar pentolan PT Waragonda adalah manusia terdidik dan yang berpikir logis, mereka tidak mungkin memerintahkan pengrusakan sasi Adat diatas tanah ulayat adat Negeri Haya.
“Oleh karena itu kami juga mendesak pimpinan PT Waragonda untuk membayar ganti rugi pengrusakan sasi Adat” pungkas Tuahan. *